Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BeritaNasionalPolkam

Kisah Bupati Belu  Perjuangan Menembus Gerbang UI

5
×

Kisah Bupati Belu  Perjuangan Menembus Gerbang UI

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID) – Di ujung timur Nusantara, tempat matahari pertama kali menyentuh tanah Indonesia setiap pagi, sebuah kisah tentang harapan, keberanian, dan kepemimpinan ditulis diam-diam.

Kabupaten Belu, wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, selama ini dikenal karena letak geografisnya yang ekstrem, bukan karena prestasi akademiknya. Tapi tahun ini, sejarah mencatat sesuatu yang berbeda.

Example 300x600

Sebanyak 10 siswa dari Belu berhasil lolos seleksi masuk Universitas Indonesia (UI) melalui jalur PPKB 3T (Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar) untuk tahun 2025.

 

Tak hanya lolos, Belu bahkan mencatat rekor sebagai kabupaten dengan jumlah penerimaan terbanyak di antara delapan kabupaten lain yang ikut serta dalam program afirmasi pendidikan tinggi tersebut.

Jalur PPKB 3T bukan jalur biasa. Ia diciptakan sebagai bentuk keberpihakan pada mereka yang tumbuh di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar. Daerah-daerah yang sering kali tertinggal dalam statistik pendidikan nasional, yang dilintasi tantangan akses, minimnya sarana, dan terbatasnya informasi.

Di antara nama-nama seperti Aceh Besar (6 siswa), Nias (1 siswa) dan Nias Utara, Bengkalis, Berau dan Sangihe (masing-masing 3 siswa), dan Manggarai (2 siswa), Belu berdiri paling depan dengan 10 siswa diterima. Ini bukan hanya pencapaian akademik, tapi juga pencapaian moral dan sosial.

Namun, tak semua tahu bahwa di balik data dan pengumuman, ada kerja sunyi dan langkah panjang dari seorang pemimpin daerah—Bupati Belu, Willybrodus Lay, S.H.

Ia bukan sekadar pejabat yang membaca laporan dan memberi sambutan. Ia turun tangan langsung, mengajak dan mengingatkan. Dalam satu pertemuan, ia menyampaikan:

“Saya meminta semua kepala sekolah di Belu untuk berpartisipasi dalam program ini, tapi hanya dua sekolah yang mengambil bagian.” ungkap Bupati Willy Lay.

Pernyataan itu bukan sekadar kekecewaan. Ia adalah potret nyata dari perjuangan melawan ketidaksiapan, ketidakberanian, bahkan ketidakpercayaan diri. Tapi dari dua sekolah yang merespons—SMAK Suria Atambua dan SMA St. Angela Atambua—lahir kisah luar biasa. Dari 13 siswa yang mendaftar, 10 berasal dari SMAK Suria (8 lulus), dan 3 dari St. Angela (2 lulus).

 

Dalam sebuah pertemuan penuh haru di Atambua, Bupati Willy Lay tak bisa menyembunyikan kebanggaannya. “Kami sangat berterima kasih kepada Rektor UI dan seluruh jajarannya. Ini adalah bukti nyata komitmen UI dalam mendukung pemerataan akses pendidikan di wilayah 3T.

Anak-anak Belu kini punya kesempatan belajar di salah satu kampus terbaik di Indonesia,” ucapnya sambil memandang para siswa yang kini akan menapaki dunia baru.

Salah satu tokoh penting dalam proses ini, Rm. Benyamin Seran, Pr.—atau yang akrab disapa Romo Min, Kepala Sekolah SMAK Suria Atambua—menyampaikan terima kasih atas peran strategis pemerintah daerah dan perhatian dari pihak UI.
“Atas nama seluruh civitas akademika SMAK Suria, kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Bupati Belu yang telah membuka jalan bagi kami. Terima kasih juga kepada Rektor UI, para profesor, dan dosen yang memberi kesempatan pada anak-anak kami dari perbatasan RI-RDTL untuk membuka wawasan dan pengalaman akademik.” ujar Romo Min.

Capaian ini pun bukan hanya kemenangan anak-anak perbatasan, melainkan simbol bangkitnya rasa percaya diri dari daerah yang selama ini merasa jauh dari pusat. Kini, anak-anak Belu akan duduk di bangku yang sama dengan siswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.

Mereka akan belajar dari dosen-dosen terbaik, di ruang-ruang kelas yang sebelumnya hanya mereka kenal dari internet atau buku pelajaran.

Tak kalah penting, keberhasilan ini menjadi refleksi tentang apa yang terjadi jika seorang pemimpin lokal benar-benar peduli pada pendidikan.

 

Jika ajakan itu tidak hanya menjadi seruan formal, tapi didampingi keberanian untuk melawan budaya takut gagal, mental blok, dan ketidaksiapan. Belu adalah contoh konkret bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru dan sekolah, melainkan bagian dari agenda pembangunan yang harus dipegang langsung oleh pemimpin daerah.

Bagi masyarakat Belu, kabar ini adalah bukti bahwa anak-anak mereka bukan sekadar penjaga batas, tapi juga pembawa nama baik bangsa.

 

Di pundak 10 siswa ini, mengalir harapan yang lebih besar dari sekadar gelar sarjana. Mereka adalah penanda zaman baru, bahwa perbatasan kini bicara prestasi, bukan hanya lokasi.

Bagi Indonesia, Belu memberi pelajaran penting: bahwa jika kita benar-benar memberi ruang, akses, dan keberpihakan, anak-anak dari wilayah 3T bisa berdiri sejajar—bukan karena belas kasihan, tapi karena layak dan mampu.

Kini, suara dari kampung-kampung kecil di Atambua telah bergema sampai ke Depok. Dari ruang kelas sederhana di timur Indonesia, para siswa Belu akan menulis kisah baru tentang masa depan, tentang keyakinan, dan tentang bagaimana sebuah kabupaten di batas negeri bisa menembus gerbang kampus terbaik di tanah air—dengan kepala tegak.

Example 300250