“Pendidikan bukan sekadar tiket masa depan, tetapi penerang di tanah yang selalu mencari cahaya,” — seorang pendamping pendidikan di Timika, lirih namun penuh keyakinan.
TIMIKA |LINTASTIMOR.ID) — Di ruang perencanaan YPMAK, yang sering menjadi saksi lahirnya program besar bagi generasi Amungme dan Kamoro, keputusan baru kembali ditegaskan: pendamping khusus akan disiapkan. Bukan sekadar nama mitra, tetapi rekan perjalanan akademik—yang menjaga ritme belajar, menguatkan mental anak perbatasan, dan memastikan beasiswa tidak sekadar angka administrasi, melainkan keberhasilan nyata.
Program Amungme dan Kamoro Berprestasi, yang mulai berjalan pada 2025, kini memasuki babak kedewasaannya. Sudah 68 mahasiswa menembus gerbang perguruan tinggi negeri dari Papua hingga Sumatera. Mereka, dengan nama-nama yang lahir dari lembah dingin Mimika hingga rawa lembut pesisir Kamoro, kini duduk di kelas universitas ternama: UNCEN, UNIPA, Udayana, UNP, hingga UNSRAT. Dari jumlah itu, 41 mahasiswa adalah anak suku Amungme dan Kamoro—inti peradaban lokal yang kini menyeberangi lautan ilmu; sisanya, 27 mahasiswa, berasal dari suku kekerabatan Papua yang lain.
Feri Magai Umang, Wakil Pengurus Bidang Perencanaan, berbicara dengan ketenangan orang yang tahu benar medan kerjanya.
“Pendampingan ini bukan sekadar administratif. Kita bicara pembiayaan, kultur, keterasingan, hingga psikis anak yang menempuh studi jauh dari tanah asal. Karena itu, teknisnya harus dilimpahkan pada mitra yang fokus,” ujarnya.
YPMAK kini mengokohkan sistem grant making, atau Pemberdayaan Pihak Ketiga untuk Kegiatan (P3K)—sebuah lanskap baru dalam tata kelola pendidikan Papua. YPMAK bertindak sebagai menara pandang: merancang, mengawal alur anggaran, memonitor perkembangan; sedangkan mitra pendamping menjadi awak kapal yang berjaga di gelombang.
Rute Panjang, Gelombang Dalam: Analitik Transportasi Laut Papua
Jika pendidikan adalah perjalanan, maka mereka adalah penumpang kapal yang harus mengatasi cuaca ragu dan badai rindu. Banyak di antara mahasiswa ini tumbuh di wilayah yang akses transportasinya bergantung pada laut—kapal kayu, kapal tol laut, cuaca timur, angin tenggara. Dari Timika menuju Manokwari, dari Nabire menuju Bali, dari Asmat menuju Padang—transportasi bukan sekadar moda, tetapi narasi identitas.
Setiap keberangkatan adalah perpisahan dari adat, bahasa ibu, ritus batu bakar, dan liturgi rumah. Dan pendamping bukan hanya pengawas akademik, tetapi penjaga mental para pelaut muda ilmu pengetahuan.
Program ini, jika dikembangkan menuju Papua Berprestasi, akan memperluas cakupannya ke seluruh gugus pulau dan daratan di Timur. Pada fase itu, evaluasi akan menentukan apakah satu mitra cukup, atau perlu armada pendamping yang lebih besar—sebagaimana laut yang tak mengenal pelayaran tunggal.
Anak-Anak yang Pergi untuk Kembali
Ada yang merantau ke Manado dan baru pertama kali melihat laut lebih luas dari Teluk Kamoro. Ada yang tiba di Bali, terheran pada ritme cepat kota dan suara bahasa yang melompat-lompat. Ada yang menginjakkan kaki di Sumatera Barat, merasakan dingin yang bukan dari tebing Mimika, tetapi dari angin pegunungan Minang.
Mereka bukan sekadar penerima beasiswa. Mereka adalah pemikul nama suku.
“Beasiswa memberi akses, tetapi pendampingan memberi arah,” kata seorang tutor daerah penerima, mengingatkan bahwa prestasi tidak lahir dari uang, melainkan dari ekosistem yang menjaga proses belajar tetap bernapas.
Cahaya dari Timur
YPMAK memilih langkah hening tapi pasti: bukan selebrasi pembangunan, melainkan investasi karakter. Bukan memuja angka, tetapi memupuk daya juang.
Jika satu hari kelak para mahasiswa ini kembali ke Timika, Agimuga, Manasari, atau pesisir Tembagapura, mereka tidak sekadar membawa gelar. Mereka akan membawa etos. Mereka akan pulang sebagai fajar, bukan sekadar alumni.
Dan pada saat itu, mungkin kita akan memahami kalimat awal tadi:
bahwa pendidikan bukan tiket masa depan,
melainkan cahaya yang terus bertahan, sekalipun listrik padam dan kapal belum tiba.
















