ATAMBUA |LINTASTIMOR ID), perbatasan yang hangat oleh matahari sore, tiba–tiba menjadi sunyi oleh satu nama yang tak kembali: Yandri Yuliana Bani.
Ia keluar dari rumah pada Kamis, 13 November 2025, pukul empat petang. Sejak saat itu jejaknya hilang—seperti disapu angin kering dari dataran Timor yang luas.
Jejak yang Terputus di Senja Timur
Tak ada tanda-tanda yang ganjil sore itu. Di Wekatimun, Kelurahan Umanen, perempuan 45 tahun itu berjalan dengan sweater hitam, celana jeans hitam, dan sandal jepit sederhana. Di punggungnya, menurut laporan polisi, terdapat tulisan merah pada sweater yang ia kenakan.
Di balik pakaian yang biasa saja itu, tersembunyi kehidupan seorang ibu rumahan, pekerja sunyi yang sejak dulu menjaga ketertiban kecil di rumahnya—dapur, piring, doa, dan ritme hidup yang pelan.
Namun pada hari itu, ritme itu putus.
“Kami hanya ingin dia pulang. Apa pun keadaannya,” ujar suaminya, Franklin Nino, dalam nada yang perlahan runtuh—kutipan yang lahir dari ruang keluarga yang tak lagi sama.
Potret Sebuah Kehilangan
Foto Yandri yang tersebar di media sosial dan group WA keluarga memperlihatkan wajah yang tegar, dengan sehelai selendang bermotif Timor di bahunya. Ia tampak seperti kebanyakan perempuan di perbatasan: sederhana, kuat, dan tak banyak bicara tentang dirinya.
Polisi mencatat ciri-cirinya: tinggi sekitar 155–160 cm, rambut lurus, kulit sawo matang, mata bulat yang hitam. Ada bekas luka di telapak kaki kanannya—detail kecil yang kini menjadi penanda besar dalam pencarian.
Di halaman Polres Belu, laporan kehilangan itu ditandatangani IPDA Mariangus K. Mite. Selembar kertas yang dingin, mewakili kegelisahan keluarga yang tak bisa tidur selama berhari-hari.
“Setiap malam kami berharap ada suara ketukan di pintu… tapi yang datang hanya angin,” kata seorang anggota keluarga lainnya pelan.
Senja yang Lebih Panjang dari Biasanya
Atambua adalah kota dengan ritme kuat: pagi yang ramai oleh aktivitas pasar, siang yang panas, malam yang pelan. Namun sejak 13 November itu, waktu seolah memanjang bagi keluarga Yandri.
Tanggal-tanggal berjalan, tetapi kabar tak kunjung jatuh. Tak ada saksi yang melihat arah kaki terakhirnya, tak ada percakapan yang bisa diungkap kembali.
Yang tersisa hanya pertanyaan yang berputar di kepala keluarga:
Apakah ia tersesat?
Apakah ia naik kendaraan tertentu?
Apakah ia memilih diam?
Atau ada hal lain yang merenggutnya dari rumah?
Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk seperti debu di meja makan—tak tersentuh, tetapi terus hadir.
Mencari di Tengah Ketidakpastian
Polres Belu membuka nomor aduan. Suami Yandri menuliskan nomor ponselnya dalam laporan, berharap satu panggilan dapat mengubah semuanya.
Masyarakat Atambua tahu benar bahwa kehilangan seseorang bukan hanya urusan keluarga—ini urusan komunitas. Sebab di perbatasan, orang saling mengenal meskipun hanya lewat senyum atau sapaan singkat di jalanan.
“Perempuan itu bukan sekadar nama di laporan polisi. Ia bagian dari kampung ini,” kata seorang tetua desa yang ikut mencari hingga malam.
Harapan yang Tidak Padam
Hingga laporan ini ditulis, Yandri Yuliana Bani belum ditemukan. Namun setiap hari, keluarga masih membuka pintu rumah sedikit lebih lebar—seolah memberi ruang bagi kemungkinan.
Dalam keheningan itu, ada harapan yang tak mau mati.
Harapan yang berjalan pelan, tetapi tetap berjalan.
Sebab di setiap kehilangan, selalu ada doa yang tak pernah putus.
Dan di Timor, doa adalah jalan pulang.
















