Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
NasionalPeristiwaPolkam

Wamen Cristina Aryani Datang Membuka Pintu, Sekaligus Mengingatkan Luka-Luka Migrasi yang Tak Boleh Terulang

38
×

Wamen Cristina Aryani Datang Membuka Pintu, Sekaligus Mengingatkan Luka-Luka Migrasi yang Tak Boleh Terulang

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)- Kota Atambua kembali jadi ruang percakapan global. Di panggung Gedung Wanita Betelalenok, negara hadir—bukan sekadar menawarkan mimpi kerja luar negeri, tetapi memastikan jalan menuju mimpi itu tidak lagi dilalui dengan ketakutan dan kehilangan.

Dalam cahaya pagi Atambua yang lembut, namun menyimpan memori ribuan keberangkatan sunyi, Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Wamen P2MI) Cristina Aryani, S.E., S.H., M.H., berdiri di podium. Suaranya datar, tak berlebihan, tetapi mengandung bobot sejarah: NTT adalah halaman pertama dari kisah panjang para pekerja migran Indonesia—lukanya paling nyata, keberaniannya paling telanjang.

Example 300x600

“Kita dari pemerintah melihat bahwa pekerja migran sangat diperlukan dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja global dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi,” ujarnya, tenang dan jernih. Kalimat yang seolah sederhana, namun di baliknya tersimpan bab ekonomi dunia, demografi, dan ironi: negara-negara maju menua, tenaga kerja berkurang, Indonesia diminta hadir, tetapi bukan hadir sebagai korban.

Cristina berbicara bukan untuk menegaskan kebijakan. Ia seperti membacakan refleksi panjang bangsa ini tentang siapa saja yang pernah pulang dalam peti, siapa yang tak pernah kembali, siapa yang pulang tanpa suara, siapa yang kembali sebagai perempuan kuat menghidupi tiga generasi.

Migrasi Aman: Dari Statistik Menjadi Pertaruhan Martabat

Data yang dipaparkan bukan sekadar angka resmi negara; ia seperti barisan nama yang tak disebutkan:

  • 351.743 lowongan global menunggu tangan-tangan Indonesia—perawat, welder, ABK, caregiver, pekerja konstruksi, teknisi manufaktur, pekebun laut jauh, penjaga lansia yang menua di negeri asing.
  • 3,2 juta angkatan kerja NTT
  • 3,23% TPT
  • 3.851 penempatan PMI NTT hingga 30 November 2025
  • 10 negara tujuan utama—Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea, Jepang, dan sisanya menjadi lorong baru masa depan.

Namun di balik grafik, ada kalimat yang terasa seperti getar doa:

“Jaminan hak dan akses pekerja migran terhadap pekerjaan layak bukan hanya keharusan moral tetapi juga kebutuhan ekonomi,” tutur Cristina, merayap pelan namun pasti ke dalam kesadaran kolektif ruangan—bahwa martabat bukan hadiah; ia diperjuangkan, diatur, ditata, dipagari hukum.

NTT tahu benar risiko migrasi non-prosedural. Lima dekade sudah ia menjadi pintu keberangkatan, tetapi juga pintu kepulangan luka:
eksploitasi, upah tak dibayar, deportasi, jerat agen gelap, dan nama paling pedih: TPPO.

Data itu dingin, tetapi perih jika dibaca hati:

17.891 pekerja migran bermasalah ditangani hingga 30 November 2025.

Dalam ruangan, tak ada tepuk tangan pada angka itu. Hanya sunyi yang menyadarkan: migrasi bukan sekadar mobilitas ekonomi, ia adalah cerita pulang—selamat atau tidak.

Dunia Memanggil, Tapi Dengan Syarat

Cristina menegaskan prosedur bukan birokrasi semata, melainkan pagar nyawa:

  • Usia minimal 18 tahun
  • Kompetensi bahasa & skill
  • Dokumen legal lengkap
  • BPJS Ketenagakerjaan
  • Visa & Perjanjian Kerja
  • E-PMI (SISKOP2MI) sebagai rumah digital perlindungan

“Sebagian besar permasalahan PMI di NTT terjadi karena berangkat secara non-prosedural,” ungkapnya—kalimat yang terdengar seperti pengakuan sejarah kolektif.

Yang duduk sebagai camat, kepala desa, lurah, pemuda, hingga karang taruna, diminta bukan sekadar mendengar. Mereka diminta menjadi penjaga pintu:
menolak agen palsu, menolak iming-iming cepat, menolak keberangkatan yang tak memiliki identitas hukum.

Mimpi 500 Ribu PMI 2026: Antara Target dan Nasib

“Pemerintah menargetkan 500.000 PMI di tahun 2026,” kata Cristina, tidak meledak, tidak membanggakan, justru terdengar hati-hati.

  • 300.000 lulusan SMK
  • 200.000 masyarakat umum
  • melalui vokasi, pelatihan, dan upgrading skill

Di titik ini, berita menjadi renungan:
Apakah Belu siap?
Apakah NTT siap?
Apakah kita ingin hanya mengirim tenaga, tanpa mengirim martabat?

Dalam ruang Betelalenok itu, seolah ada gumam tak terucap:
Negeri ini sudah terlalu lama dikenal sebagai pengirim pekerja, tetapi kini ingin dikenali sebagai pengirim SDM terampil—manusia profesional global, bukan sekadar tenaga.

Akhir yang Tenang, Namun Menggugah

Sesi sosialisasi ditutup tanpa gegap gempita. Tak ada spanduk heroik, tak ada foto yang menutupi persoalan. Yang tersisa hanya pandangan mata para tamu—Forkopimda Belu, Dekan UNHAN, Dansatgas Pamtas, Kepala BP3MI, dan jajaran desa—yang seperti tengah membayangkan wajah-wajah yang akan kembali setahun, dua tahun lagi.

Cristina Aryani tidak datang membawa euforia. Ia datang membawa cermin:
bahwa migrasi adalah hak, tapi juga risiko;
bahwa bekerja di luar negeri adalah peluang, tapi juga pertaruhan kemanusiaan;
bahwa NTT adalah pintu, tetapi kini ingin menjadi pintu yang terhormat, legal, terdidik, dan terjaga.

Dan Belu, dengan segala sejarahnya, seperti akhirnya berbisik:

“Jika anak-anak kami harus pergi, pastikan mereka pulang sebagai pemenang, bukan korban.”

Example 300250
Penulis: Redaksi Lintastimor.idEditor: Agustinus Bobe