Oleh: Agustinus Bobe, S.H., M.H – Pengamat Hukum Pidana, Penulis Buku Hukum Filsafat dan Pidana Pers
Di negeri hukum, pengetahuan hukum seharusnya milik rakyat; bukan arsip gelap yang mengendap di meja polisi, jaksa, dan hakim.
Negara modern yang beradab tak hanya dibangun oleh perangkat hukum yang lengkap, tetapi juga oleh pengetahuan hukum yang terus dialirkan kepada rakyatnya. Namun kita masih hidup dalam paradoks: Undang-Undang dirumuskan dengan biaya besar, disahkan dengan gegap gempita di ruang parlemen, tetapi setelah itu… ia lenyap dalam sunyi birokrasi. Mengendap di meja aparat, menguap di ruang rapat, namun tak pernah benar-benar hadir di dusun, desa, hingga pinggir kali tempat rakyat bernafas.
Dalam perspektif filsafat hukum, aturan yang tak diketahui masyarakat adalah norma tanpa jiwa, tubuh tanpa roh. Hukum yang tidak disosialisasikan mengkhianati fungsi ontologisnya: menjadi pedoman bersama untuk hidup tertib. Ia juga mengkhianati fungsi epistemologisnya: memberi pengetahuan agar manusia bertindak dengan benar. Bahkan secara aksiologis, hukum kehilangan nilai — sebab nilai hanya hidup jika dipahami oleh subjeknya, yaitu warga negara.
Masyarakat tidak mungkin taat hukum jika mereka bahkan tidak mengenal hukum itu. Negara tidak boleh menuntut kepatuhan dari sesuatu yang tidak pernah diperlihatkan.
“Peraturan itu bukan milik kantor; ia milik rakyat yang diatur olehnya.”
Sayangnya, praktik kita sering berlawanan. Banyak regulasi—baik UU, Perda, Peraturan Pemerintah, hingga Surat Edaran—selesai ditetapkan, tetapi tak pernah turun ke tanah tempat rakyat berjalan. Tidak ada penyuluhan yang terencana, tidak ada komunikasi hukum yang memadai, tidak ada jembatan pengetahuan antara negara dan warganya. Akibatnya, masyarakat di dusun, desa, dan kecamatan berhadapan dengan hukum sebagai kejutan, bukan sebagai pedoman.
Padahal kesadaran hukum mustahil tumbuh dalam kegelapan. Jika hukum dipahami, masyarakat akan menghormati. Jika hukum disosialisasikan, masyarakat akan berjaga. Dan jika hukum benar-benar hadir di tengah rakyat, maka rasa takut melanggar akan lahir bukan dari paksaan, tetapi dari kesadaran akan nilai-nilai bersama.
Di titik inilah saya melihat urgensi untuk menghidupkan kembali mandat esensial negara hukum: membuka, menjelaskan, dan menyebarluaskan hukum sampai ke lapisan terbawah masyarakat. Regulasi bukan artefak yang digembok di lemari otoritas, melainkan cahaya yang harus menerangi ruang publik.
“Hukum yang tidak disosialisasikan adalah hukum yang gagal melaksanakan dirinya.”
Dalam perspektif etika hukum, pemerintah dan lembaga penegak hukum tidak sekadar pelaksana regulasi, tetapi komunikator moral yang bertanggung jawab membumikan nilai-nilai hukum pada publik. Masyarakat berhak mengetahui apa yang mengatur mereka, membatasi mereka, dan melindungi mereka.
Karena itu, tugas sosialisasi bukan pilihan—ia adalah kewajiban konstitusional yang merupakan bagian dari penghormatan negara kepada martabat warganya.
Di era teknologi sekarang, tidak ada alasan untuk membiarkan masyarakat buta hukum. Media sosial, portal desa, mimbar gereja dan masjid, radio komunitas, bahkan sekolah-sekolah dapat menjadi ruang penyuluhan hukum yang murah dan berkelanjutan. Tetapi semua itu hanya mungkin jika negara benar-benar mau: mau membuka, mau berbagi, mau transparan.
Masyarakat kita bukan anti-hukum; mereka hanya tak pernah dikenalkan pada hukum. Jika pengetahuan hukum mengalir, maka kepatuhan bukan lagi hasil ancaman, melainkan buah kesadaran.
Dan di situlah cita-cita negara hukum menemukan martabatnya.
















