ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID) – Di Aula SVD Nenuk, Desa Naekasa, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Perbatasan RI-Timor Leste,Sabtu (25/10/2025), suasana penuh haru dan semangat membalut acara pembukaan Timor Friendship Games 2: Battle of The Border.
Di hadapan peserta dari Indonesia dan Timor Leste, Bupati Belu Willybrodus Lay, S.H berdiri tegak dengan suara yang hangat—bukan hanya membuka sebuah ajang olahraga, tetapi juga membuka hati untuk kesetaraan dan kemanusiaan.
“Ini adalah bentuk kecintaan yang luar biasa kepada saudara-saudara kita penyandang disabilitas,” ujar Bupati Willy Lay dengan nada tulus yang menyentuh setiap telinga yang mendengarnya.
“Mereka juga harus merasakan bahwa hidup itu setara dengan yang lainnya.”
Kata-kata itu menggema lembut di aula SVD yang syahdu—di tempat yang biasanya menjadi ruang doa, kini tawa, tepuk tangan, dan semangat bertanding menjadi bahasa kasih lintas batas.
Ajang yang lahir dari cinta dan iman
Rokhmi, sang penggagas kegiatan, kembali memantik api semangat inklusivitas yang mulai menyala sejak Timor Friendship Games pertama tahun 2024. Tahun ini, tema Battle of The Border menjadi lebih dari sekadar pertandingan. Ia menjelma menjadi ruang perjumpaan, tempat setiap manusia—dengan segala keterbatasan dan kelebihannya—berdiri setara di garis start kehidupan.
Bupati Willy tak segan memberikan apresiasi langsung kepada Rokhmi. “Lewat olahraga, kita bisa membuktikan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, mampu meraih prestasi dan memberikan kebanggaan,” tuturnya, disambut tepuk tangan meriah.
Tuhan bekerja lewat tempat yang tak direncanakan
Awalnya, kegiatan ini dijadwalkan berlangsung di GOR L.A. Bone Atambua. Namun, karena tempat tersebut lebih dahulu digunakan oleh atlet Taekwondo, panitia memutuskan memindahkan kegiatan ke Aula SVD Nenuk.
Bagi sebagian orang, perubahan ini mungkin sekadar urusan teknis. Tapi bagi Bupati Willy, ada makna rohani yang dalam di baliknya.
“Kegiatan yang berlangsung di sini ada hikmahnya,” ucapnya sambil tersenyum. “Kalau kita gelar di GOR, para rohaniwan tidak bisa menyaksikan langsung. Ini cara Tuhan mendekatkan Gereja dengan para penyandang disabilitas.”
Kata-kata itu seolah menegaskan bahwa olahraga pun bisa menjadi doa—sebuah bentuk ibadah yang mengajarkan ketulusan, perjuangan, dan cinta terhadap sesama.
Dari olahraga menuju kesempatan hidup
Bupati Willy berharap, Timor Friendship Games tidak berhenti seba gai ajang olahraga tahunan. Ia ingin melihat dampak yang lebih nyata bagi masa depan para penyandang disabilitas.
“Semoga apa yang dirintis oleh Pak Rokhmi tidak berhenti di olahraga saja,” ujarnya tegas. “Jika ada penyandang disabilitas yang memiliki pendidikan dan kemampuan memadai, Pemerintah Daerah siap mempekerjakan satu atau dua orang di kantor bupati.”
Ucapan itu bukan sekadar janji. Nyatanya, Pemkab Belu telah mempekerjakan beberapa penyandang disabilitas di Kantor Bupati dan sejumlah OPD, sebagai bukti nyata bahwa kesetaraan bukan wacana, melainkan kebijakan yang hidup.
Persahabatan tanpa batas
Timor Friendship Games 2 bukan hanya pesta olahraga, tetapi juga perayaan kemanusiaan. Di antara sorak penonton, doa rohaniwan, dan tawa anak-anak yang menyaksikan, ada getar persaudaraan lintas negara.
Dari Atambua hingga Dili, dari peluh atlet hingga senyum penonton, semua berbicara dalam satu bahasa: cinta tanpa batas.
Dan di bawah langit perbatasan itu, Indonesia dan Timor Leste kembali bersalaman—bukan sebagai dua negara, melainkan sebagai dua saudara yang dipersatukan oleh semangat, empati, dan kasih.
LINTASTIMOR.ID – Suara dari Perbatasan untuk Dunia
















