ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-Di antara deru angin perbatasan dan denting semangat para pemuda Belu, sebuah sejarah ditulis bukan dengan tinta biasa, melainkan dengan disiplin, keberanian, dan langkah berani seorang pemimpin yang percaya bahwa mimpi atlet dapat menembus batas administratif dan geografis. Untuk pertama kalinya, Taekwondo Belu mengirim tiga putra terbaiknya ke pelatihan wasit nasional—sebuah lompatan besar yang membuka halaman baru olahraga daerah ini.
Di lembar panjang perjalanan olahraga Nusa Tenggara Timur, kabupaten Belu sering disebut sebagai wilayah yang melahirkan petarung–petarung ulet. Namun sejarah tidak selalu diukir dengan medali; terkadang ia lahir dari keberanian memilih jalan yang belum pernah dicoba. Hal inilah yang dilakukan Antonius Chr. Djaga Kota, ST—lebih akrab disapa Thony Djaga Kota—sejak menakhodai Taekwondo Indonesia Kabupaten Belu periode 2025–2029.
Dalam kepemimpinannya yang masih muda, Thony Djaga Kota membuat langkah yang tidak sekadar administratif, tetapi visioner. Ia mengirimkan tiga atlet untuk mengikuti Pelatihan Wasit Nasional Taekwondo Indonesia yang digelar 26–29 Juli 2025 di Badung, Bali. Sebuah keputusan yang, bagi banyak daerah besar sekalipun, bukan perkara kecil.
Pelatihan itu bukan sekadar kursus; ia adalah jembatan menuju standar World Taekwondo (WT), rumah besar yang menjadi kiblat regulasi dan integritas pertandingan di seluruh dunia. Dengan mengikuti pelatihan ini, para atlet tidak hanya belajar menghitung poin atau mengawasi kontak—mereka sedang menyelami etika, kode, dan filosofi keadilan dalam olahraga.
Dari Belu, tiga nama itu berangkat dengan langkah yang mungkin tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung cita-cita panjang:
- Natalindo Dos Santos
- Yekris Efraim M. Panie, S.Sos
- Julius A. Mau
Tiga pemuda yang pulang bukan hanya sebagai atlet, tetapi sebagai wasit nasional yang sah, sebagaimana ditegaskan melalui SK Pengurus Besar Taekwondo Indonesia Nomor: Skep. 24/PBTI/XI/2025, Tanggal 21 November 2025, ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PB Taekwondo Indonesia, Letjen T. H. Tampubolon, SH, MM.
Saat menerima kabar kelulusan itu, Thony Djaga Kota tak mampu menyembunyikan senyum yang menyiratkan lebih dari sekadar kebanggaan. Ia berkata pelan, namun penuh makna:
“Ini bukan hanya kelulusan tiga orang. Ini kelulusan sebuah keyakinan bahwa Belu mampu berdiri sejajar di panggung nasional.”
Dalam kacamata olahraga, langkah ini memperkuat kualitas pertandingan lokal. Dalam kaca mata sastra, ia adalah metafora perjalanan: bahwa dari tanah yang jauh dari gemerlap ibu kota, cahaya dedikasi tetap dapat menyala terang. Dalam refleksi budaya, keputusan ini turut memotret bagaimana kepemimpinan yang berani bisa mengubah arah sejarah olahraga daerah.
Program ini juga selaras dengan AD/ART Taekwondo Indonesia serta agenda kerja PB Taekwondo Indonesia tahun 2025—membuktikan bahwa daerah kecil pun bisa bergerak mengikuti ritme nasional, bahkan melampauinya.
Kini, Belu tidak hanya mengirim atlet ke gelanggang; Belu telah mengirim pengadil, penjaga sportivitas, pewaris moral pertandingan. Seperti kata salah satu peserta setelah kembali dari Bali:
“Kami tidak hanya belajar menilai pertandingan. Kami belajar menilai diri sendiri—tentang kedisiplinan, integritas, dan hormat pada olahraga.”
Dari perbatasan, sebuah tendangan baru telah dilepaskan. Bukan untuk menjatuhkan lawan, tetapi untuk mengangkat martabat daerah. Dan mungkin, di tahun-tahun mendatang, catatan sejarah akan terus bertambah—semua berawal dari tiga pemuda dan seorang ketua yang berani bermimpi lebih jauh.
















