TIMIKA, [LINTASTIMOR.ID] —
Tembok laut (sea wall) yang dibangun di pesisir Atuka, Distrik Mimika Tengah, mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Proyek yang menelan biaya hingga Rp4 miliar dan dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Mimika pada 2022–2023 itu kini tak lagi sekuat harapan awal.
Plt Kepala Dinas PUPR Mimika, Inosensius Yoga Pribadi, tak menampik kondisi tersebut. Ia menjelaskan, tembok laut yang berdiri setinggi dua meter dan membentang sepanjang 200 meter itu dibangun untuk menahan abrasi pantai Atuka yang kian mengkhawatirkan. Struktur bangunannya disusun dari cincin beton atau gorong-gorong yang dicor semen, namun kini mulai terkikis oleh gelombang dan cuaca ekstrem.
“Pembangunan tembok laut ini pertama kali dilakukan di Kabupaten Mimika. Kami akan meninjau kembali perencanaannya agar hasilnya bisa lebih efektif dan bertahan dalam jangka panjang,” ujar Yoga saat ditemui di Kantor Bappeda Mimika, Kamis (31/10/2025).
Menurutnya, penggunaan cincin beton yang hanya disusun dan dicor kurang tepat untuk kondisi tanah pesisir Mimika yang lembek dan dinamis. Apalagi, perubahan pola cuaca yang kian ekstrem membuat daya tahan struktur menjadi lemah dari waktu ke waktu.
“Timika punya struktur tanah yang lembek dan berlumpur, belum lagi cuaca yang terus berubah. Pembangunan dengan cincin atau gorong-gorong memang tidak efektif. Ini menjadi catatan penting bagi kami agar pembangunan ke depan lebih baik dan benar-benar bisa dirasakan manfaatnya,” ujarnya menambahkan.
Dinas PUPR Mimika kini tengah mencari solusi jangka panjang agar pembangunan tembok laut di wilayah pesisir dapat lebih berkelanjutan. Salah satu opsi yang tengah dikaji adalah penggunaan tiang panjang yang ditancapkan beberapa meter ke dalam tanah untuk memperkuat fondasi, sehingga mampu menghadapi perubahan cuaca dan gelombang laut yang kian tak menentu.
Komitmen itu menjadi wujud keseriusan pemerintah daerah dalam melindungi kawasan pesisir dari ancaman abrasi yang terus menggerus daratan. Karena di Mimika, laut bukan hanya batas alam — tetapi juga nafas kehidupan masyarakatnya.
