Air Mata Mama Lucky yang Menuntut Keadilan dari Timur Indonesia
KUPANG | LINTASTIMOR.ID) —
Ruang sidang itu hening. Suara langkah kaki, suara kursi bergeser, dan tarikan napas pelan terdengar lebih jelas dari biasanya. Di kursi saksi, seorang ibu duduk dengan tangan gemetar memegang mikrofon. Matanya sembab, namun tatapannya tegak.
Dialah Mama Lucky, ibu dari almarhum Prada Lucky Chepril Saputra Namo — prajurit muda yang meregang nyawa dalam kasus penganiayaan di satuan militer. Di hadapan majelis hakim Pengadilan Militer III-15 Kupang, ia berbicara dengan suara bergetar, tetapi sarat keberanian.
“Anak Lucky itu anak kebanggaan saya. Saya perjuangkan dia sejak kecil, saya berjuang sendiri supaya dia bisa masuk TNI. Dia panutan untuk adik-adiknya,” ujarnya dengan air mata menetes di pipi.
Kalimat itu seolah menembus dinding ruang sidang. Beberapa orang di barisan belakang mulai menunduk, tak kuasa menahan haru. Di sudut lain, seorang ibu memegang dadanya erat-erat. Karena setiap kata yang keluar dari bibir Mama Lucky bukan hanya kisah pribadi, tapi cermin bagi banyak ibu di negeri ini—yang kehilangan anak, namun tak kehilangan harapan.
Air Mata yang Berbicara
Tangis Mama Lucky bukan tangis biasa. Itu adalah tangis yang membawa pesan. Tangis yang lahir dari luka, tetapi diiringi kekuatan luar biasa. Dalam isaknya, ada doa. Dalam getar suaranya, ada seruan keadilan.
“Saya mohon, para pelaku dihukum seberat-beratnya… dipecat, dan pelaku utama dihukum mati. Itu saja permohonan saya, Yang Mulia,” katanya, menatap majelis hakim dengan sisa kekuatan yang ia punya.
Ia bukan seorang ahli hukum, bukan pula tokoh publik. Ia hanyalah seorang ibu dari perbatasan timur Indonesia yang percaya bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan. Ia datang bukan membawa amarah, melainkan kerinduan akan kebenaran.
Jejak Perjuangan dari Kampung
Kehidupan Mama Lucky tidak pernah mudah. Di kampungnya, ia membesarkan anak-anaknya dengan kerja keras, dengan harapan bahwa suatu hari mereka akan mengangkat martabat keluarga. Lucky, anak sulungnya, menjadi kebanggaan itu.
Ia menjadi calon prajurit TNI setelah melewati seleksi berat. Di mata ibunya, Lucky adalah contoh dari kesungguhan dan kedisiplinan. Namun harapan itu sirna begitu kabar kematian datang—tanpa perpisahan, tanpa penjelasan yang utuh.
Kini, yang tersisa hanya foto, kenangan, dan keyakinan bahwa perjuangan belum selesai.
“Negara akan berubah karena akhlak pendidikan anak didik kita. Tanpa pendidikan, semuanya tidak ada artinya,” kata Mama Lucky di sela persidangan, kalimat yang terdengar seperti nasihat, tapi sejatinya jeritan batin.
Keadilan di Tengah Luka
Kasus Prada Lucky telah membuka luka lama: tentang kekerasan, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya perlindungan bagi prajurit muda. Tapi di tengah hiruk-pikuk hukum dan politik, sosok Mama Lucky muncul sebagai suara nurani.
Ia tidak menuntut balasan, hanya keadilan. Ia tidak mencari simpati, hanya kebenaran. Ia tidak ingin dunia melihat dirinya menangis—tetapi memahami mengapa ia menangis.
“Saya tidak lagi menangis untuk kesedihan, tapi untuk keadilan,” ucapnya pelan, namun tegas.
Sebuah Doa dari Perbatasan
Usai sidang, Mama Lucky duduk diam di kursi panjang pengunjung. Ia menatap kosong ke depan, seolah melihat sosok anaknya berdiri di sana, dengan seragam hijau dan senyum bangga.
Beberapa ibu mendekat, memeluknya erat. “Kuat, Mama… kuat,” bisik mereka.
Mama Lucky hanya mengangguk. Tangannya menutup wajahnya sebentar, lalu ia mengusap air mata terakhir di pipinya.
Hari itu, seorang ibu telah berbicara untuk anaknya — dan untuk setiap anak negeri ini.
Tangisnya menjadi kesaksian, doanya menjadi tuntutan moral, dan keberaniannya menjadi pengingat bahwa cinta seorang ibu tak pernah mati.
“Seorang ibu tidak akan berhenti berjuang, bahkan setelah kehilangan segalanya.” — Mama Lucky














