Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Hukum & KriminalKesehatanNasional

Tangis di Tengah Sekolah: Saat Sepiring Makanan Membawa Luka, Bukan Gizi

301
×

Tangis di Tengah Sekolah: Saat Sepiring Makanan Membawa Luka, Bukan Gizi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

KUPANG, [LINTASTIMOR.ID] – “Anak-anak datang ke sekolah dengan semangat, tapi pulang dengan tubuh lemas dan wajah pucat. Itu bukan mimpi buruk, itu kenyataan pahit yang kami saksikan,” tutur Veronika Ata, S.H., M.H, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTT, dengan suara lirih menahan keprihatinan.

Tragedi keracunan massal yang menimpa siswa SMP Negeri 8 Kupang usai menyantap makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengguncang banyak pihak. Ratusan siswa dilarikan ke rumah sakit dengan gejala mual, muntah, dan sakit perut hebat. Dalam insiden memilukan ini, semua mata kini tertuju pada satu pertanyaan penting: Di mana letak kelalaian sistem?

Example 300x600

Vendor Harus Diawasi Ketat

Menurut Veronika, kejadian ini harus menjadi titik balik dalam cara pemerintah daerah mengelola program MBG. Ia menegaskan pentingnya pengawasan vendor secara menyeluruh, bukan sekadar administrasi.

“Pemkot harus memastikan vendor yang dipilih benar-benar layak. Harus ada seleksi ketat dengan syarat mutlak: pengalaman menyuplai makanan dalam skala besar, legalitas usaha yang jelas, dan dapur yang bersih serta memiliki izin resmi,” tegasnya.

Tak cukup sampai di sana, Veronika menilai perlunya monitoring berkala ke dapur umum yang menjadi sumber makanan. Pemeriksaan kelayakan bahan pangan, alat masak, hingga sistem penyimpanan wajib dilakukan secara konsisten.

“Ini bukan soal bagi-bagi nasi. Ini soal keselamatan anak-anak. Jika ditemukan vendor yang melanggar standar, sanksi tegas harus dijatuhkan. Jangan tunggu korban berjatuhan baru bergerak,” lanjutnya.

Selain  Pemkot tapi juga pihak mana pun yang bertanggung jawab merekrut vendor, harus lebih selektif.

Sekolah Juga Punya Peran Kunci

Veronika juga menyampaikan bahwa pengawasan tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Sekolah sebagai tempat distribusi harus aktif dalam melakukan pengecekan makanan yang datang.

“Saat makanan tiba, kepala sekolah dan guru harus sigap memeriksa. Lihat aroma, tampilan, dan kondisi makanan. Bila ada kecurigaan seperti bau tak sedap atau tampilan yang rusak, jangan ragu untuk menolak,” katanya.

Ia juga mendorong keterlibatan Komite Sekolah sebagai bentuk pengawasan dari unsur orang tua. Meski tidak bisa dilakukan setiap hari, evaluasi berkala penting untuk menjamin kualitas dan keamanan makanan.

Ajarkan Anak untuk Waspada

Di balik semua sistem, anak-anak juga harus dibekali dengan pengetahuan dasar tentang keamanan pangan. Menurut Veronika, penting untuk memberikan edukasi langsung kepada siswa.

“Kita harus ajarkan mereka: kalau makanan tampak basi, bau tak sedap, atau berubah warna—jangan dimakan. Laporkan segera ke guru atau petugas sekolah. Jika sudah terlanjur dimakan dan merasa tidak nyaman, hentikan dan beri tahu teman lain agar tidak ikut makan,” imbaunya.

Luka yang Jadi Pelajaran

“Mereka bukan hanya murid, mereka adalah anak-anak kita semua. Luka ini harus jadi pelajaran. Jangan ada lagi tangis anak karena sepiring makanan yang seharusnya jadi harapan,” tutup Veronika dengan mata berkaca-kaca.

 

 

 

Example 300250