ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-“Ini adalah diduga mafia tanah yang terjadi di Belu… kami masyarakat kecil jadi korban.”
— Efen Tes, salah satu warga terdampak eksekusi.
Situasi mencekam memanggang Jalan Marsda Adi Sucipto, Atambua, pada Jumat pagi itu (5/12/2025). Asap hitam dari ban bekas yang dibakar menggepul, memotong langit perbatasan yang biasanya tenang. Dentuman petasan sesekali menyelingi teriakan. Di balik barikade darurat, warga Tulamalae berdiri dengan tongkat, mata mereka tertuju pada peralatan berat yang sudah menggeram di ujung jalan, dikawal aparat gabungan bersenjata. Mereka menghadang eksekusi pengosongan tanah yang telah menjalani perjalanan hukum panjang 12 tahun, sebuah saga yang akarnya terbelit dalam putusan-putusan pengadilan, klaim sejarah, dan air mata 34 kepala keluarga (205 jiwa) yang kini terancam kehilangan tempat mereka berdiri di atas 19.000 m² bumi Belu.
Latar belakangnya adalah sengketa dua bidang tanah antara Damianus Maximus Mela (Maxi Mela) sebagai pemohon dan sejumlah warga sebagai termohon. Perjalanan hukumnya berliku: dimenangkan Maxi Mela di Pengadilan Negeri (PN) Atambua (2013), dibatalkan pada tingkat banding (2014) dan kasasi (2015) karena cacat formil, lalu diajukan kembali dan akhirnya dimenangkan lagi oleh Maxi Mela di PN Atambua melalui putusan tahun 2016. Putusan terakhir inilah yang menjadi dasar eksekusi, dengan amar perintah mengosongkan tanah.
Namun, di tengah ketegangan eksekusi, muncul protes keras yang menyasar substansi dan prosedur. Efen Tes, salah satu warga terdampak, menyatakan keberatan bukan pada putusan itu sendiri, melainkan pada luas wilayah yang dieksekusi. Menurut klaimnya, hanya sekitar 20 meter persegi yang menjadi objek gugatan, namun dalam pelaksanaan eksekusi, wilayah yang diklaim mencapai 13.000 meter persegi lebih ikut disasar. “Tanah sengketa yang sebagai obyek eksekusi kurang lebih 20 an meter persegi, dan kurang lebih 13 ribu meter persegi tidak pernah digugat tetapi masuk dalam obyek eksekusi,” tuturnya. Inilah jantung protes mereka: sebuah ketidaksesuaian yang, jika benar, mengubah eksekusi dari pelaksanaan putusan pengadilan menjadi perluasan sepihak yang dirasakan sebagai ketidakadilan. Bendera setengah tiang dan poster-poster protes yang mereka pasang adalah simbol kepedihan terhadap proses yang dianggap mengabaikan kehati-hatian.
Analisis Hukum Acara Perdata: Antara Res Judicata dan Batasan Eksekusi
Dari kacamata hukum acara perdata, kasus ini menyoroti beberapa prinsip krusial:
1. Kekuatan Hukum Tetap (In kracht van gewijsde) dan Batasan Objek: Putusan PN Atambua No. 36/Pdt.G/2016/PN.Atb yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (meski melalui perjalanan panjang) memang menjadi titel eksekutorial yang sah. Namun, eksekusi harus dilakukan secara limitatif dan konkret hanya terhadap objek yang diputus dalam perkara tersebut. Klausul dalam putusan yang memerintahkan “mengosongkan tanah” harus merujuk secara tegas pada bidang tanah yang spesifik dan telah dibuktikan dalam persidangan. Klaim warga bahwa terjadi “perluasan objek eksekusi” menyentuh asas fundamental ini. Jika objek eksekusi melampaui objek gugatan, hal tersebut dapat menjadi dasar pembatalan atau penangguhan eksekusi (verzet) karena melampaui amar putusan.
2. Asas Kehati-hatian dan Pemberitahuan (Sommatie): Pengadilan dan pihak pelaksana eksekusi (juru sita) diwajibkan melakukan upaya-upaya yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum eksekusi fisik. Warga mengklaim tidak menerima dua surat pemberitahuan (somasi) sebagaimana seharusnya. Validitas pemberitahuan ini penting secara procedural untuk memberikan kepastian dan kesempatan terakhir bagi para pihak, terutama dalam sengketa kepemilikan tanah yang sensitif.
3. Fungsi Pengawasan Pengadilan: Ketua Pengadilan Negeri, dalam hal ini PN Atambua, memegang peran pengawasan terhadap pelaksanaan eksekusi putusannya. Protes warga yang menyebut Ketua PN Atambua adalah bentuk tekanan publik agar pengadilan tidak hanya menjadi “pemberi perintah”, tetapi juga “penjamin pelaksanaan yang adil dan tepat”. Dalam konteks seperti ini, mediasi pasca-putusan atau klarifikasi ulang batas tanah oleh ahli yang independen sebelum eksekusi fisik dapat menjadi langkah preventif yang bijak.
Memetakan Sengkarut
· Durasi Sengketa: 12 tahun (2013-2025).
· Jumlah Perkara di Pengadilan: Minimal 3 kali proses (Gugatan 2013, Banding 2014, Gugatan Baru 2016).
· Populasi Terdampak: Sekitar 205 jiwa dari 34 KK.
· Luas Tanah Sengketa (menurut proses hukum): Dua bidang tanah di Halifehan dan Tulamalae (luas spesifik dalam putusan).
· Luas yang Dieksekusi (klaim warga): ~13.020 m² (13.000 m² + 20 m²).
· Luas Area Tempat Tinggal Warga: 19.000 m².
· Aparat yang Dikerahkan: Polres Belu, TNI, Satpol PP, Brimob.
· Aksi Warga: Blokade jalan, pembakaran ban, peledakan petasan, pengibaran bendera setengah tiang, pemasangan poster, unjuk rasa di PN Atambua.
Solusi: Meredakan Tegang, Mencari Jalan Keluar
Situasi ini sudah pada tahap deadlock yang berpotensi melukai fisik dan sosial. Beberapa langkah solutif dapat dipertimbangkan:
1. Audit Batas Segera: Pemerintah Daerah (BPN) bersama pengadilan harus segera membentuk tim verifikasi independen (melibatkan surveyor berizin, akademisi, dan perwakilan masyarakat) untuk memetakan dan membandingkan secara definitif: (a) tanah yang menjadi objek putusan pengadilan, (b) tanah yang akan dieksekusi, dan (c) tanah yang ditempati warga. Hasil audit ini harus transparan dan menjadi bahan keputusan final.
2. Dialog Tripartit Darurat: Membuka kanal komunikasi krisis antara perwakilan warga (termasuk Efen Tes), kuasa hukum Maxi Mela, dan perwakilan pengadilan/penegak hukum, dengan difasilitasi pemerintah daerah atau Komnas HAM. Fokus dialog: kesepahaman atas batas, mekanisme eksekusi yang manusiawi jika harus dilakukan, dan opsi kompensasi atau relokasi jika ada ketidaksesuaian.
3. Presiden sebagai Penengah Tertinggi: Seruan warga kepada Presiden Prabowo Subianto adalah sinyal kegagalan penyelesaian di level lokal. Kantor Staf Presiden (KSP) atau Menteri ATR/BPN dapat turun tangan sebagai mediator netral, mengingat potensi konflik horizontal dan krisis kemanusiaan.
4. Mengurangi Ketegangan Keamanan: Penarikan peralatan berat dan pengurangan intensitas aparat bersenjata dari lokasi, digantikan dengan pendekatan komunikasi oleh polisi yang terlatih dalam resolusi konflik, dapat menurunkan eskalasi.
Tulamalae, Sebuah Catatan Kaki tentang Keadilan yang Kabur
Apa arti sebuah putusan pengadilan jika ia hanya menjadi dokumen mati yang diterjemahkan secara pongah di lapangan? Tulamalae mengingatkan kita bahwa hukum sering kali berjalan dalam bahasa ordinat dan absis, sementara kehidupan warga berdenyut dalam bahasa kenangan di setiap jengkal tanah. Ketika “20 meter persegi” dalam berkas berubah menjadi “13.000 meter persegi” dalam kenyataan, yang terjadi bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan pengkhianatan terhadap makna keadilan itu sendiri.
Keluarga-keluarga itu tidak hanya memprosesi tanah. Mereka memprotes sebuah sistem yang dianggap telah mengaburkan batas antara hukum dan kuasa, antara eksekusi dan perluasan. Bendera setengah tiang yang mereka naikkan adalah sindiran pilu: negara mana yang mereka rasakan hari ini? Anton Suri, warga Belu lain, mengingatkan agar setiap keputusan memperhatikan “data, fakta, dan sejarah.” Ini adalah permintaan yang sederhana namun mendasar: bahwa keadilan haruslah konkret, terukur, dan menghormati narasi yang hidup.
Kisah Tulamalae adalah potret klasik Indonesia di banyak tempat: sengketa tanah yang berlarut, putusan hukum yang bolak-balik, dan akhirnya meledak dalam konflik terbuka yang menyisakan luka bagi semua pihak. Ia mengajarkan bahwa hukum tanpa kepekaan sosial adalah kekerasan yang steril, dan protes tanpa saluran hukum yang adil adalah keputusasaan yang membara. Sebelum peralatan berat itu bergerak, masih ada waktu untuk mendengar lebih saksama: bukan hanya pada bunyi putusan pengadilan, tetapi juga pada jerit hati yang terdengar dari rumah-rumah di sepanjang Jalan Marsda Adi Sucipto, menuju perempatan SDK Tenubot.
















