PUNCAK JAYA |LINTASTIMOR.ID)— Di tanah pegunungan yang sunyi, dentingan hukum bergaung di antara honai-honai yang berdiri teguh. Jumat pagi, 15 Agustus 2025, Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz membuktikan bahwa hukum tak boleh terhenti oleh jarak dan ancaman. Di Kampung Usir Depan, Papua Tengah, mereka menangkap Konara Enumbi — seorang nama yang selama ini bersembunyi di balik kabut, dituduh terlibat dalam penembakan yang merenggut nyawa Brigpol Ronald Enok, 21 Januari lalu.
Konara bukan sekadar pelaku, ia adalah bagian dari pasukan KKB Yambi di bawah komando Tengah Mati Enumbi, Panglima Kodap Yambi. Tuduhan kepadanya jelas: mengambil peran langsung dalam pembunuhan seorang anggota Polri di Kampung Lima-lima, Distrik Pagaleme, serta terlibat dalam aksi penembakan terhadap aparat keamanan.
Penangkapan berlangsung tanpa kemewahan dramatis — hanya derap langkah tegas di tanah lembab, honai yang menjadi saksi, dan barang bukti yang diamankan: satu unit Yamaha Vixion 150, sebuah noken kepala, jaket coklat, dan tiga bungkus pinang. Dari tangan aparat, tersangka dibawa menuju Polres Puncak Jaya. Proses hukum pun menanti, seperti malam yang tak bisa menolak datangnya fajar.
Kepala Operasi Damai Cartenz, Brigjen Pol. Dr. Faizal Ramadhani, berbicara dengan nada yang menggabungkan ketegasan dan prinsip hukum:
“Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan bersenjata akan dilakukan setegas-tegasnya. Tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan yang mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat serta aparat di Tanah Papua. Penangkapan ini bagian dari komitmen kami untuk menegakkan hukum dan menjaga stabilitas keamanan.”
Dari sudut pandang filsafat hukum, ucapan ini adalah manifestasi dari the rule of law — bahwa kekuasaan negara hanya sah jika dijalankan untuk melindungi hak hidup dan keamanan warga.
Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Kombes Pol. Yusuf Sutejo, menambahkan pesan yang beralih dari ancaman hukum menuju ajakan kebersamaan:
“Kami mengajak seluruh warga untuk tetap tenang dan terus berkolaborasi dengan aparat keamanan. Aparat keamanan akan terus hadir dan bekerja maksimal untuk memberikan perlindungan serta menjamin keselamatan masyarakat dari segala bentuk gangguan keamanan.”
Operasi ini adalah lebih dari sekadar penangkapan. Ia adalah pernyataan bahwa di Papua — di mana nyawa pernah ditukar dengan peluru — hukum tetap berusaha hadir, bukan hanya sebagai teks, tapi sebagai napas yang menjaga hidup tetap berjalan. Dan di antara gunung, kabut, dan suara burung Cenderawasih, ada tekad yang terus diulang: tak ada ruang bagi kekerasan.