Membaca Kematian Fransiskus Xaverius Asten dalam Tafsir Kriminologi dan Viktimologi
Oleh: Agustinus Bobe, S.H., M.H
Pengamat Hukum Pidana dan Staf Pengajar Ilmu Kriminologi & Viktimologi Hukum
(LINTASTIMOR.ID — Suara dari Perbatasan untuk Keadilan Dunia)
Sore itu, 9 November 2025, langit Atambua seperti diselimuti kabut yang datang lebih cepat dari biasanya. Di lembah Sabanese, udara lembap menggantung di antara pohon akasia.
Sejumlah warga berdiri di tepi jalan Trans Timor kilometer delapan, menatap jurang dengan mata yang sama—mata kehilangan.
Tubuh Fransiskus Xaverius Asten, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Belu, ditemukan di dasar jurang itu. Dua hari sebelumnya, Jumat malam, sekitar pukul tujuh, ia pamit kepada keluarganya hanya untuk membeli rokok.
Tidak ada pesan terakhir. Tidak ada tanda-tanda pamit panjang.
Yang tersisa hanyalah diam.
Sebuah Kematian yang Tak Menjawab
Kematian sering datang dengan alasan yang sederhana, tapi manusia jarang puas dengan kesederhanaan.
Apalagi jika yang meninggal adalah pejabat publik yang dikenal berdedikasi—seorang Fransiskus Asten yang baru saja dipercaya memimpin lembaga yang bekerja di garis bencana.
Orang-orang bertanya:
Apakah ia terjatuh? Dibunuh? Atau mati karena tekanan yang tak sanggup dibagi?
Pertanyaan itu menggantung di antara kabar resmi dan spekulasi warga, antara laporan polisi dan bisik di warung kopi.
Hasil otopsi belum diumumkan.
Polres Belu meminta waktu.
Keluarga meminta kebenaran.
Dan masyarakat—seperti biasa—menunggu dengan cemas yang tak pasti.
Hukum dan Kematian: Sebuah Tafsir dari Pinggir
Sebagai pengamat hukum pidana, saya percaya: kematian bukan hanya perkara tubuh yang berhenti bernapas, melainkan juga soal tanda-tanda sosial yang menyertainya.
Dalam ilmu kriminologi, setiap kematian menyimpan motif, dan setiap motif adalah cerita manusia yang tak selesai.
Otopsi akan menjawab bagaimana seseorang mati.
Tapi kriminologi bertanya lebih jauh: mengapa?
Apakah ada tekanan dari pekerjaan?
Apakah ada konflik di sekelilingnya?
Atau, mungkinkah ia sedang membawa beban moral yang terlalu berat?
Polisi harus membaca bukan hanya luka di tubuh korban, tetapi juga luka di kehidupannya.
Telepon terakhir yang ia angkat, pesan yang belum sempat terkirim, siapa yang terakhir berbicara dengannya — semua itu bukan detail remeh, tapi potongan puzzle menuju motif.
Membaca Korban dari Dalam: Perspektif Viktimologi
Dalam viktimologi, korban bukan sekadar objek yang kehilangan nyawa. Ia adalah subjek dengan sejarah, emosi, dan jaringan relasi.
Untuk memahami kematian, kita harus menghidupkan kembali konteks di sekeliling korban.
Fransiskus Asten bukan hanya pejabat. Ia seorang ayah, rekan kerja, dan warga yang hidup dalam pusaran birokrasi dan tanggung jawab di wilayah perbatasan.
Mungkin ia menanggung tekanan tugas, mungkin ada keputusan sulit yang harus diambil, mungkin pula ia berhadapan dengan pihak yang tak senang dengan caranya bekerja.
Keluarga harus berani bercerita.
Sebab kejujuran keluarga kerap menjadi cahaya pertama yang menembus kabut penyidikan.
Keterbukaan bukan bentuk melawan, tetapi bagian dari keadilan.
“Dalam banyak kasus, bukan polisi yang membuka kebenaran pertama kali, melainkan keluarga yang berani menceritakan hal-hal kecil yang selama ini dianggap sepele.”
Di Meja Polisi: Antara Forensik dan Nurani
Di ruang penyidikan Polres Belu, petugas tengah menunggu hasil laboratorium.
Tetapi hukum tak berhenti di meja formal.
Untuk menemukan kebenaran, penyelidik perlu menyelam lebih dalam:
melacak rekam jejak digital, komunikasi terakhir korban, pola aktivitas, dan tekanan sosial yang mungkin menyertainya.
Keadilan bukan tentang cepat atau lambat, tapi tentang arah pencarian.
Karena penyidikan yang hanya berfokus pada otopsi akan kehilangan makna manusiawi dari sebuah kematian.
Keadilan yang Dicari dari Perbatasan
Di Belu, garis batas bukan hanya membagi dua negara, tapi juga dua cara pandang terhadap hukum:
antara yang formal dan yang manusiawi.
Kasus kematian Fransiskus Asten adalah cermin dari dilema itu.
Polisi bekerja dengan data dan bukti, tetapi masyarakat menuntut rasa dan makna.
Sementara keluarga, di tengah duka, menanggung dua beban sekaligus: kehilangan dan ketidakpastian.
Keadilan di perbatasan selalu menuntut kesabaran, tetapi juga keberanian.
Keberanian untuk bertanya, untuk bersuara, dan untuk membuka yang ditutup rapat.
Sebuah Doa untuk Kebenaran
Malam di Atambua kembali tenang.
Jalan Trans Timor yang melintasi Fatuketi diterangi lampu seadanya.
Di tempat tubuh Fransiskus Asten ditemukan, kini hanya ada bekas lilin dan doa yang padam pelan-pelan.
Namun, bagi hukum dan kemanusiaan, doa itu belum selesai.
Ia menunggu jawaban dari aparat, keberanian dari keluarga, dan kejujuran dari siapa pun yang tahu potongan kebenaran kecil itu.
Sebab di wilayah yang disebut perbatasan ini, setiap nyawa adalah pernyataan, dan setiap kematian adalah panggilan untuk berpihak pada kebenaran.
LINTASTIMOR.ID – Suara dari Perbatasan untuk Keadilan Dunia
✍️
















