Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalKabupaten MimikaNasionalPeristiwa

Senator Rampeani Rachman Menyusuri Luka Kapiraya

147
×

Senator Rampeani Rachman Menyusuri Luka Kapiraya

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

MIMIKA |LINTASTIMOR.ID) — Senin pagi di Kapiraya tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya: sunyi, tetapi menyimpan gemuruh yang tidak terlihat. Setelah bentrokan 24 November lalu, yang membakar rumah, merenggut nyawa, dan meninggalkan ketakutan menggantung di udara, Rampeani Rachman, anggota DPRD Mimika dari Dapil 6, datang menyapa warganya. Kedatangannya bukan sebatas kunjungan kerja—lebih sebagai perjalanan pulang menjenguk luka yang ditinggalkan oleh konflik tapal batas.

Ia disambut hangat oleh warga yang masih berjaga di antara puing rumah dan sisa asap masa lalu. Distrik Kapiraya, yang secara sah masuk Kabupaten Mimika sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999, kembali diperselisihkan. Kabupaten Deiyai mengklaim wilayah itu adalah miliknya; Dogiyai ikut terseret. Di tengah klaim yang saling bertabrakan, masyarakat Kapiraya hanya punya satu pegangan: bertahan.

Example 300x600

Rampeani berdiri di antara mereka—tanpa jarak, tanpa protokol yang berlebihan. Ada nada personal yang terasa ketika ia berbicara: nada seseorang yang tumbuh bersama tanah ini.

Kehadiran saya di Kapiraya adalah untuk melihat langsung kondisi terbaru setelah bentrokan. Saya duduk di DPRD juga karena dukungan penuh dari masyarakat Kapiraya,” ucapnya, suaranya meresap pelan.

Ia meminta warga menahan diri, menepi dari amarah yang bisa menyulut konflik baru. Kapiraya sedang rapuh, dan rapuh tidak selalu berarti lemah—kadang ia hanya butuh tangan yang menenangkan.

Saya berharap masyarakat tetap sabar dan menahan diri. Persoalan ini kita serahkan kepada Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pemerintah Kabupaten Mimika untuk diselesaikan,” pesannya.

Namun di balik pesannya yang teduh, ada api yang ia jaga untuk tetap menyala: api tentang identitas, tentang tanah, tentang keberanian warga Kapiraya mempertahankan ruang hidupnya.

Saya berterima kasih kepada seluruh masyarakat Kapiraya yang sudah berjuang, berkorban, dan bertahan mempertahankan kampung-kampung yang hendak dirampas pihak lain,” ujarnya.

Lalu ia menutup dengan kalimat yang terasa seperti sumpah yang telah lama dirawat:

Saya besar di tanah Mimika. Dan saya tahu Kapiraya itu tanah milik suku Kamoro, tidak ada suku lain. Maka wajar jika dipertahankan sampai titik darah penghabisan,” tegasnya.

Di tengah senja yang merayapi Kapiraya, kata-katanya menggantung seperti peringatan sekaligus pelukan: bahwa tanah ini bukan sekadar batas administratif, tetapi rumah—dan rumah, seberapa sering pun diganggu, selalu layak diperjuangkan.

Example 300250