Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Berita

Retret di Bello: Ketika Alumni PMKRI Memulai Lagi, NTT Diajak Berani Mandiri

14
×

Retret di Bello: Ketika Alumni PMKRI Memulai Lagi, NTT Diajak Berani Mandiri

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

KUPANG |LINTASTIMOR.ID)-

Pagi di Bello tidak riuh. Ia sunyi seperti doa yang belum selesai. Di Aula Biara Susteran SSPS, Kupang, Sabtu, 13 Desember 2025, langkah-langkah para alumni PMKRI memasuki ruang retret dengan satu kesadaran yang sama: bahwa pulang ke organisasi kader bukan sekadar nostalgia, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab.

Dalam suasana hening itulah Forum Komunikasi Alumni PMKRI (Forkoma PMKRI) Regio Timur menggelar retret bertema “Mari Kita Mulai Lagi untuk Berbagi.” Tema yang terdengar sederhana, namun sesungguhnya menuntut keberanian—untuk mengulang niat, menata ulang komitmen, dan berbagi peran bagi gereja, masyarakat, dan daerah.

Di antara para alumni, hadir Gubernur Nusa Tenggara Timur, yang pagi itu datang bukan hanya sebagai kepala daerah, tetapi sebagai sesama kader.

Example 300x600

“Kehadiran saya bukan semata sebagai Gubernur NTT, tetapi sebagai bagian dari keluarga besar PMKRI,” ungkapnya.

Kalimat itu menegaskan satu hal: bahwa jabatan boleh melekat, tetapi identitas kader tidak pernah tanggal. PMKRI, dengan nilai Kristianitas, Intelektualitas, dan Fraternitas, tetap menjadi rumah pembentukan—bahkan ketika kadernya telah menyebar ke berbagai posisi dan tanggung jawab publik.

Retret ini menjadi ruang refleksi bersama. Diskusi berlangsung bukan dalam nada instruksi, melainkan permenungan. Tentang peran alumni hari ini, tentang tantangan gereja dan masyarakat, dan terutama tentang masa depan NTT yang menuntut keberanian berpikir ulang.

Dalam forum tersebut, Gubernur NTT menyampaikan kegelisahan yang bersumber dari data dan kenyataan lapangan: ekonomi NTT yang rapuh karena terlalu bergantung pada pasokan dari luar daerah.

Defisit perdagangan NTT mencapai sekitar Rp51 triliun per tahun—angka yang tidak sehat bagi sebuah provinsi.

Angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah tanda peringatan. Bahwa terlalu lama NTT hidup sebagai konsumen, bukan produsen. Bahwa daya tahan ekonomi masyarakat melemah karena hasil bumi dan keringat sendiri belum menjadi tuan di rumahnya.

Karena itu, menurutnya, perubahan tidak bisa lagi tambal sulam. Ia harus mendasar.

Struktur ekonomi harus digeser—dari konsumtif ke produktif, dari ketergantungan ke kemandirian, dari luar ke potensi lokal. Pertanian, UMKM, industri kecil menengah, serta pengolahan hasil produksi daerah menjadi tumpuan utama.

Konsep One Community One Product dan One Village One Product didorong sebagai strategi agar setiap desa dan kelurahan tidak lagi anonim, tetapi memiliki identitas ekonomi yang jelas—produk unggulan yang hidup dan berdaya saing.

Pemerintah Provinsi NTT, lanjutnya, juga menyiapkan afirmasi pasar. Produk lokal akan diprioritaskan dalam belanja pemerintah dan ASN. Skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) didorong, bukan sekadar sebagai akses modal, tetapi disertai pendampingan UMKM yang serius dan berkelanjutan.

Namun ia menegaskan, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.

Alumni PMKRI, katanya, tersebar di berbagai sektor dan wilayah. Itu adalah kekuatan besar—jika mau digerakkan.

Ajakan pun disampaikan, bukan dengan nada perintah, melainkan undangan nurani.

Mari terlibat secara aktif dan konkret. Tidak perlu menunggu langkah besar. Cukup mulai dari yang kecil, tetapi nyata. Dari komunitas, dari desa, dari jejaring yang telah terbentuk sejak masa kaderisasi.

Retret di Bello itu akhirnya tidak hanya menjadi ruang diam, tetapi ruang lahirnya tekad. Bahwa PMKRI bukan hanya cerita masa lalu, dan alumni bukan hanya penonton pembangunan.

Di ruang yang tenang itu, NTT diajak untuk mulai lagi—berbagi peran, berbagi tanggung jawab, dan berbagi harapan—menuju daerah yang lebih mandiri dan berdaya saing.


 

Example 300250