KUPANG |LINTASTIMOR.ID)-
Rapat dengar pendapat (RDP) antara korban Seroja, LP2TRI, Pemerintah Kabupaten Kupang, BRI, dan anggota DPRD Kabupaten Kupang pada Jumat, 28 November 2025, berubah menjadi ruang penuh ketegangan.
Suasana memanas bukan karena emosi semata, melainkan karena ketiadaan jawaban atas pertanyaan paling dasar: ke mana sebenarnya laporan pertanggungjawaban dana Seroja itu pergi?
“Laporan itu untuk pemerintah pusat, bukan untuk masyarakat.”
— Aurum Titu Eki, Wakil Bupati Kupang
Kalimat itu mengalir seperti garis batas birokrasi yang terasa semakin menjauhkan publik dari hak mengetahui. Namun justru di balik pernyataan itu, masyarakat semakin merasakan jarak yang menebal antara realitas lapangan dan mekanisme formal pemerintah.
Kekosongan Laporan, Kekosongan Kepercayaan
BRI menjelaskan bahwa seluruh sisa dana Seroja telah ditransfer ke rekening BPBD dan kemudian disetor kembali ke pemerintah pusat. “Kas sudah nihil,” kata pihak bank.
Namun nihilnya kas bukanlah inti persoalan—yang nihil adalah dokumen pertanggungjawaban yang seharusnya menjadi bukti paling penting dalam alur pengelolaan dana bencana.
LP2TRI menyebut Pemerintah Kabupaten Kupang sebagai “akar persoalan”. Bagi mereka, kegagalan menyiapkan laporan pertanggungjawaban adalah bukti lemahnya tata kelola, bukan sekadar kesalahan administrasi.
Sekda Kabupaten Kupang, Teldi Sanam, menambahkan adanya penyetoran terakhir Rp10 miliar ke kas negara pada 20 Oktober 2025. Pernyataan ini, alih-alih menjernihkan, justru memunculkan pertanyaan lanjutan:
Jika seluruh transaksi tercatat, mengapa laporan final belum ada?
Analisis: Di Mana Patahnya Rantai Pengawasan?
Kasus ini membuka kembali luka lama: tata kelola dana bencana yang sering kali tersendat pada tahap akuntabilitas.
Secara prosedural, dana hibah bencana seperti Seroja wajib disertai:
- Dokumen penyaluran per penerima,
- Bukti realisasi belanja,
- Rekonsiliasi bank–BPBD–Pemda,
- Laporan pertanggungjawaban lengkap untuk dikirim ke BNPB dan Kementerian Keuangan.
Ketiadaan salah satu dokumen dapat menyebabkan pending laporan, yang pada gilirannya memblokir proses audit dan menimbulkan kecurigaan publik.
Dalam kasus Kupang, indikasi masalah tampak pada dua titik:
- Rekonsiliasi tidak tuntas antara data pemerintah daerah dan bank penyalur.
- Dokumen penggunaan di tingkat desa/kelurahan kemungkinan belum lengkap, sehingga laporan final tidak bisa disusun.
Kekosongan laporan bukan hanya soal administrasi—ia membuka ruang spekulasi tentang kelalaian, salah kelola, bahkan potensi penyimpangan.
“Kami hanya ingin tahu siapa yang bertanggung jawab.”
— Perwakilan korban Seroja
Kalimat sederhana itu memuat beban besar: rasa kehilangan rumah, kehilangan waktu, dan kehilangan kepercayaan.
Ketidakhadiran Bupati, Kehadiran Masalah
Bupati Kupang, Yosef Lede, tidak hadir dalam RDP ini. Secara politik, absennya kepala daerah membuat ruang dialog kehilangan figur paling strategis—tokoh yang seharusnya menjelaskan posisi resmi pemerintah, memastikan solusi, dan meredam kecurigaan publik.
Ketidakhadiran itu justru menambah lapisan baru dalam narasi publik:
Mengapa Bupati tidak hadir ketika masalah ini menjadi sorotan paling mendesak?
Dugaan Saling Menutupi: Ketika Transparansi Tidak Mengalir
Masyarakat kini melihat pola: pemerintah menyebut laporan untuk pusat, bank menyebut kas sudah nol, tetapi keduanya belum menunjukkan satu pun bukti laporan pertanggungjawaban.
Kekosongan ini membuat ruang publik dipenuhi dugaan adanya upaya “saling menutupi”—meski belum terbukti, persepsi ini sangat merusak kepercayaan terhadap institusi.
Solusi: Jalan Keluar untuk Pemda dan Masyarakat
Untuk memutus simpul kusut ini, langkah-langkah konkret harus segera dilakukan:
1. Audit Investigatif Independen
DPRD dapat meminta BPKP atau Inspektorat Provinsi melakukan audit khusus terkait alur dana Seroja. Audit ini dapat membuka data penyaluran, penerima, saldo akhir, hingga titik macet laporan.
2. Membentuk Tim Rekonsiliasi Terpadu
Terdiri dari Pemda, BPBD, BRI, Inspektorat, dan perwakilan masyarakat. Tim ini bertugas menyelesaikan rekonsiliasi data penyaluran, memastikan semua bukti belanja lengkap, dan menyusun laporan final.
3. Membuka Dokumen ke Publik
Minimal daftar penerima, jumlah anggaran, dan realisasinya. Transparansi adalah obat paling ampuh melawan dugaan penyelewengan.
4. Menetapkan Tenggat Waktu
DPRD perlu mengeluarkan rekomendasi: laporan harus rampung dalam waktu tertentu—misalnya 30 hari kerja.
5. Publikasi Berkala
Pemda wajib memberikan update mingguan melalui situs resmi untuk memulihkan kepercayaan publik.
Di Atas Semua Ketegangan, Ada Harapan
RDP hari itu berakhir tanpa kesimpulan. Namun masyarakat menuntut satu hal: kepastian.
Kepastian bahwa laporan akan selesai.
Kepastian bahwa dana tidak digelapkan.
Kepastian bahwa pemerintah berpihak pada warganya yang menjadi korban bencana.
Selama kepastian itu belum hadir, suara publik akan terus menggema—mengikuti jejak pertanyaan yang belum dijawab.
Di ruang sidang yang masih menyisakan panas debat, satu pesan tetap bergema:
“Kami menunggu kejelasan. Jangan biarkan laporan menghilang, seperti rumah-rumah kami hilang disapu Seroja.”
















