Dalam sunyi pagi di Halim, Presiden Prabowo bertolak menembus kabut bencana—membawa pesan bahwa negara tidak sedang duduk diam di ibu kota.
JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Masih gelap ketika Presiden Prabowo Subianto melangkah menuju landasan Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Senin dini hari, 1 Desember 2025. Pukul 06.00 WIB, pesawat yang membawanya menuju Pulau Sumatra bergerak, menandai perjalanan cepat negara ke pusat luka: tanah yang digulung banjir dan longsor, keluarga yang kehilangan rumah, dan ratusan warga yang masih dinyatakan hilang.
Presiden mendarat di Bandara Raja Sisingamangaraja XII, Tapanuli Utara—salah satu wilayah terparah terdampak bencana. Di sana, bukan protokol yang pertama ia cari, melainkan laporan lapangan: kondisi desa yang terisolasi, jembatan yang runtuh, dan gangguan layanan dasar yang menyulitkan warga bertahan hidup.
“Kita harus pastikan semua langkah darurat berjalan cepat dan terkoordinasi,” ujar Presiden Prabowo berbalok,
“Tidak boleh ada jeda dalam penyelamatan.”
Jejak data bencana di balik kunjungan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebelumnya merilis data menggetarkan:
442 meninggal,
402 masih hilang,
ribuan luka-luka, dan puluhan ribu warga mengungsi.
Sumatera Utara menanggung beban paling berat, sementara Aceh dan Sumatera Barat mengikuti dengan deretan kabupaten yang rusak parah. Dalam konteks jurnalisme data, kunjungan presiden bukan sekadar simbol politik; ia menjadi penanda bahwa negara bergerak mengikuti grafik kedaruratan, bukan kalender kerja birokrasi.
Dari evakuasi hingga pemulihan dasar
Agenda presiden mencakup peninjauan titik-titik kritis—akses jalan yang terputus, jembatan yang hilang diterjang arus, jaringan listrik yang padam bertubi-tubi, hingga fasilitas kesehatan yang kekurangan tenaga dan logistik.
Pemerintah menyiapkan tahap berikutnya: Pemulihan infrastruktur dasar.
Akses darat menjadi prioritas agar evakuasi, distribusi logistik, serta layanan kesehatan bisa kembali berjalan. Tim teknis dari berbagai kementerian sudah dikerahkan, termasuk energi dan telekomunikasi untuk memulihkan koneksi di wilayah blank spot.
Solusi: Apa yang dilakukan negara?
Kunjungan ini mengikat tiga langkah besar:
- Penyelamatan jiwa: Memperkuat tim pencarian dan pertolongan.
- Stabilisasi darurat: Menjamin logistik, kesehatan, dan hunian sementara berjalan tanpa hambatan.
- Pemulihan berkelanjutan: Membangun kembali dengan standar mitigasi risiko yang lebih kuat, bukan sekadar menambal kerusakan.
Ketiganya menjadi kerangka kerja lintas kementerian yang kini bergerak bersama.
Humanisme dari Tanah Basah
Di balik angka dan protokol, ada cerita manusia: anak yang kehilangan orang tua, warga yang menunggu kabar saudara, dan relawan yang bekerja berhari-hari tanpa pulang. Kunjungan presiden menyapa mereka langsung—para pekerja sunyi yang menjaga nyawa di tengah reruntuhan.
Di sela peninjauan, Presiden Prabowo kembali menegaskan tujuan hadirnya negara:
“Warga harus tahu bahwa mereka tidak sendirian. Negara bersama mereka sampai semua pulih.”
Kalimat itu jatuh seperti kompas moral di tengah kabut bencana.
Menjaga Kewaspadaan Bersama
Pemerintah juga mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada. Potensi cuaca ekstrem masih mungkin terjadi, dan arahan aparat di lapangan menjadi pegangan pertama untuk menghindari jatuhnya korban baru.
Pendamping dalam kunjungan ini—Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya—menyimbolkan bahwa koordinasi pusat digerakkan penuh.
Dalam esai reflektif bencana, perjalanan presiden bukan hanya catatan protokol, melainkan bagian dari narasi lebih besar:
bahwa negara, setidaknya hari ini, memilih untuk hadir langsung di tengah lumpur dan air bah—menjemput luka Sumatra agar tidak membeku menjadi putus asa.
















