TIMIKA |LINTASTIMOR.ID)— Senin siang itu, langkah Bupati Mimika Johannes Rettob memasuki halaman Vihara Bodhi Mandala seperti kedatangan yang ditunggu sebuah janji lama. Baru mendarat dari Jakarta, tanpa singgah di kantor pemerintahan, ia langsung menuju vihara itu—seolah sebuah panggilan hati lebih keras daripada tuntutan protokol.
Vihara Bodhi Mandala berdiri tenang di bawah langit Timika, tetapi hari itu ada semacam getar lembut yang menyelimuti. Umat Buddha, para tokoh agama, hingga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) berkumpul menyambut kedatangan yang bagi mereka lebih dari sekadar seremoni. Di hadapan mereka, Bupati Rettob membuka sambutannya dengan kalimat yang terdengar seperti bisik kejujuran.
“Saya sudah janji. Meski kemarin saat peresmian saya tidak bisa hadir, hari ini saya datang untuk menepati janji itu,” ucapnya.
Ada kesunyian sesaat setelah kata-kata itu jatuh—kesunyian yang menandai bahwa kehadiran bukan hanya perkara hadir, tetapi perihal menghargai. Prasasti Vihara Bodhi Mandala lalu ditandatangani, namun maknanya bergerak jauh melampaui tinta dan batu. Ia seperti prasasti kecil kerukunan yang setiap hari ditulis ulang oleh masyarakat Mimika.
“Hari ini kita bukan hanya menandatangani prasasti, tetapi kita hadir memberi semangat bahwa Mimika adalah rumah bagi semua umat beragama,” ujar Bupati, suaranya mengalun seperti pesan lama yang kembali ditegaskan.
Dalam ruang rohani yang hening itu, ia menyampaikan kabar baik: Mimika baru saja menerima penghargaan nasional atas keberhasilan menjaga toleransi antar-umat beragama. Penghargaan itu bukan milik individu, katanya, melainkan kemenangan bersama.
“Penghargaan ini bukan untuk saya, bukan untuk FKUB. Ini kemenangan seluruh masyarakat Mimika yang mampu hidup rukun dalam keberagaman,” ungkapnya.
“Tantangan menjaga kedamaian jauh lebih besar daripada menerima penghargaan itu sendiri.”
Beberapa hari ke depan, Bupati bersama FKUB merencanakan kunjungan ke seluruh rumah ibadah: gereja Protestan, Katolik, masjid, semua tempat yang memegang denyut spiritual Mimika. Kunjungan itu bukan hanya ritual syukur, tetapi perjalanan merayakan persaudaraan.
Ia juga membisikkan sebuah rencana yang terasa simbolik dan indah—Tugu Harmoni, penanda bahwa Mimika berdiri tegak sebagai wilayah yang menjunjung toleransi. Sebuah monumen kecil, tetapi dengan makna yang dapat melintasi generasi.
Menutup kunjungan itu, Johannes Rettob tersenyum lelah—lelah yang tidak pahit. Ia mengaku matanya masih berat, tubuhnya masih letih setelah perjalanan, tetapi hatinya ringan.
“Saya penuhi janji saya hari ini. Walaupun sedikit lelah dan masih mengantuk, tapi hati saya senang karena bisa hadir bersama umat Buddha,” tutupnya.
Dan di bawah cahaya sore yang jatuh dari sela daun, umat Buddha di Vihara Bodhi Mandala memandang prasasti yang baru ditandatangani itu seperti memandang harapan: bahwa Mimika, dengan segala ragamnya, tetap memilih jalan rukun. Jalan yang tidak selalu mudah, tetapi selalu pantas diperjuangkan.
















