Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalInternasionalPeristiwa

Polemik Aimeti-Laran dan Suara Kebenaran

175
×

Polemik Aimeti-Laran dan Suara Kebenaran

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

LINTASTIMOR.ID – Suara dari Perbatasan untuk Dunia

DÍLI |LINTASTIMOR.ID)— Angin Aimeti-Laran pada 2 Desember 2025 terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena suara-suara kecil dari kampung itu yang datang membawa segumpal keresahan, menggenggam setumpuk dokumen, dan mengetuk pintu-pintu lembaga tinggi negara.

Example 300x600

Siang itu, Ivo de Jesus Sequeira bersama delegasi Povu Ki’ik Rai Aimeti-Laran berjalan mantap usai konferensi pers. Mereka bukan sekadar membawa map berisi kertas, tetapi memikul sejarah panjang rasa tidak adil. “Kami hanya meminta negara melihat kami apa adanya: kecil, tetapi nyata. Kami ingin kebenaran itu menyala kembali,” ujar salah satu perwakilan dengan nada yang lebih mirip doa ketimbang tuntutan.

Mereka menyerahkan dokumen resmi kepada Presiden Republik, Perdana Menteri, Presiden Tribunal Rekursu, dan Koordinator Kelompok Kerja Reformasi Sektor Peradilan, Dra. Lúcia Brandão Lobato. Isi dokumen itu hanya satu: permohonan agar negara menatap serius dugaan pemalsuan Kartu Pemilih yang menyeret nama almarhum Eurico Jose Costa Lemos—seseorang yang menurut catatan resmi meninggal di Kupang pada 24 September 2009.

Tetapi, dalam sebuah ironi yang menyayat logika, kartu pemilih atas nama Eurico diterbitkan pada 1 April 2014—lima tahun setelah ia wafat.

Bagaimana orang yang sudah tiada bisa bangkit lagi untuk berfoto, membubuhkan tanda tangan, dan menaruh sidik jari?” kata Manuel Gusmão, korban sengketa tanah Aimeti-Laran, dengan senyum getir yang tak mampu menutupi luka bertahun-tahun.

Jejak Falsifikasi yang Menyisakan Luka

Dari dokumen yang dibuka kepada publik, terlihat kronologi yang menyentuh batas nalar.

  • Izia Augusta Ferreira, yang mengklaim hak atas tanah Aimeti-Laran, mengajukan proses hukum dengan menggunakan kartu pemilih Eurico sebagai dasar kepemilikan.
  • Pada Januari 2024, Pengadilan Negeri Dili memutus bahwa klaim Izia tidak sah. Alasannya jelas: ia dan Eurico tidak memenuhi syarat tinggal minimal 20 tahun sebagaimana tertuang dalam UU Tanah No. 13/2017.
  • Pengadilan juga mencatat bahwa Izia tak pernah menunjukkan dokumen resmi—tidak ada BI, tidak ada paspor, tidak ada kartu pemilih yang sah.

Logika hukum seharusnya berhenti di sana. Namun pada Februari 2024, muncul kartu pemilih “baru”, diterbitkan 1 April 2014. Anehnya, Pengadilan Tinggi justru membatalkan putusan tingkat pertama dan memerintahkan peninjauan kembali berdasarkan kartu yang diduga palsu itu.

Ini bukan hanya soal tanah. Ini soal martabat hukum negara. Jika orang mati bisa dibuatkan kartu pemilih, apa lagi yang bisa dipalsukan?” ujar Ivo, matanya menatap kosong ke arah gedung-gedung tinggi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan.

Demonstrasi Ribuan Warga: Suara Kecil yang Membesar

Kemarahan yang ditahan terlalu lama akhirnya pecah menjadi gelombang.
Pada Juni 2024, 3.879 warga Povu Ki’ik turun ke jalan selama dua hari. Mereka membawa pasal-pasal Konstitusi: Pasal 1, Pasal 2, Pasal 42, Pasal 48, Pasal 118—sebuah pengingat bahwa hukum bukan milik gedung-gedung tinggi, tetapi milik rakyat.

Demonstrasi itu melahirkan pembentukan Grupo de Trabalho para Reforma do Setor da Justiça, dipimpin Dra. Lúcia Brandão Lobato. Namun bagi warga, reformasi itu berjalan lambat, seperti mata air kecil yang tak pernah mengalir ke sawah.

Kami tidak melawan negara. Kami sedang mengetuk negara, supaya bangun.
Kalimat itu diucapkan perwakilan delegasi dengan suara serak, seperti seseorang yang telah terlalu lama berbicara namun tidak pernah benar-benar didengar.

Tuntutan Mereka: Tegas, Jernih, dan Tanpa Balutan Politik

Delegasi Povu Ki’ik membawa tiga tuntutan utama:

  1. Investigasi segera terhadap dugaan pemalsuan kartu pemilih Eurico, termasuk peran STAE dan DGSRN.
  2. Percepatan reformasi sektor peradilan, agar praktik-praktik hukum yang tidak adil segera dihentikan.
  3. Tindakan disiplin terhadap hakim-hakim yang dianggap mengabaikan prinsip keadilan dan keberpihakan pada kebenaran.

Bagi mereka, ini bukan tentang kemenangan. Ini tentang memastikan negara tidak runtuh “pelan-pelan” oleh tindakan kecil tetapi mematikan—pemalsuan, manipulasi, dan keputusan yang mengabaikan nurani.

Tanah Aimeti-Laran: Sebidang Tanah yang Menjadi Cermin Negara

Aimeti-Laran bukan sekadar tanah. Ia adalah sebuah metafora.
Ia adalah kaca tempat negara bercermin.

Di situ terlihat apakah hukum masih punya wajah manusia.
Apakah negara masih mendengar langkah rakyat kecil.
Apakah keadilan masih lebih berat dari selembar kartu pemilih palsu.

Kami hanya ingin kebenaran berdiri tegak, seperti batu karang di pesisir Dili. Tidak roboh meski dihantam gelombang kepentingan,” ujar seorang ibu yang ikut demonstrasi sejak awal, memeluk map berisi salinan dokumen seolah itu adalah satu-satunya harta yang ia punya.

Negara Ditunggu, Waktu Tidak

Delegasi Povu Ki’ik sudah bicara.
Mereka sudah menyerahkan dokumen.
Mereka sudah melakukan bagian mereka.

Kini bola ada di tangan negara.

Aimeti-Laran menunggu.
Dili menunggu.
Rakyat kecil menunggu.

Menunggu apakah keadilan akan tetap menjadi cahaya di bukit—
atau hanya lilin kecil yang perlahan padam di tengah angin birokrasi.

 

Example 300250