KUPANG |LINTASTIMOR.ID)–Di Kupang, semangat Natal rupanya datang lebih cepat—bukan lewat lonceng gereja, tetapi lewat kabar bahwa Lomba Hias Pohon Natal diperpanjang hingga 30 November 2025.
Riang Kota yang Berpendar
Kupang sore itu tampak seperti kota yang tengah menahan senyum. Angin membawa aroma hujan, sementara di sudut-sudut jalan, warga sudah sibuk memikirkan warna lampu, rumbai pita, dan dahan pohon Natal yang akan mereka hias.
Pengumuman perpanjangan pendaftaran lomba membuat kota terasa lebih lega, seolah memberi tambahan napas bagi mereka yang ingin ikut merayakan kreativitas. Ini bukan sekadar ajang kompetisi, melainkan ruang perjumpaan: antara tetangga yang jarang berbicara, antara anak-anak dan orang tua yang kini satu meja merangkai ide, antara harapan dan kebersamaan yang datang setiap Desember.
Di balik riuh itu, Pemerintah Kabupaten Kupang ingin merawat sesuatu yang lebih halus: rasa persaudaraan.
“Lomba ini bukan hanya soal siapa yang paling indah menghias pohon. Ini cara kita menyambut Natal 2025 dengan sukacita, damai, dan kebersamaan.”
— Aurum Titu Eki, Wakil Bupati Kupang
Pohon, Cahaya, dan Makna yang Kita Rawat
Ada sesuatu yang selalu menyentuh dari tradisi menghias pohon Natal. Di balik lampu-lampu kecil yang berkelip, sebenarnya tersembunyi cerita—tentang keluarga yang ingin merayakan, tentang kota yang ingin saling menguatkan, tentang iman yang tumbuh di tengah keterbatasan.
Pohon Natal, sesederhana apa pun, selalu menjadi simbol bahwa manusia ingin terang. Dan terang itu tidak pernah datang sendirian; ia lahir dari tangan-tangan yang bekerja sama.
Perpanjangan pendaftaran bukan hanya soal tenggat waktu, melainkan tanda bahwa pemerintah memberi ruang lebih besar bagi warganya untuk hadir, berkreasi, dan dinyatakan sebagai bagian dari sukacita bersama.
Ritme yang Tenang namun Menyengat
Melalui lomba ini, Pemkab Kupang sedang membangun narasi tentang kota yang tidak ingin hanya menjadi penonton perayaan. Mereka ingin warga mengambil peran, membawa ide, memamerkan karya, dan menyulap ruang-ruang publik menjadi panggung Natal.
Tempo selalu percaya bahwa setiap kebijakan kecil mengandung pesan politik kebudayaan—bahwa Natal bukan hanya ritual, melainkan momen memulihkan hubungan sosial.
Kupang memilih merayakannya dengan cahaya.
Kota yang Tak Pernah Kehilangan Cahaya
Dengan perpanjangan pendaftaran hingga 30 November, Kupang sebenarnya sedang mengundang warganya untuk satu hal: hadir.
Hadir dalam sukacita.
Hadir dalam kreativitas.
Hadir dalam semangat persaudaraan yang menjadi wajah Natal itu sendiri.
Dan ketika seluruh pohon berdiri, bercahaya di halaman rumah, di sekolah, di kantor, atau di sudut kota—Kupang akan tampak seperti kota yang sedang mengucapkan satu harapan sederhana:
Selamat Natal. Terang itu milik kita semua.
















