Oleh: Agustinus Bobe, S.H., M.H
Pengamat Hukum Militer & Penulis buku Filsafat Hukum dari Indonesia Timur
Pledoi para terdakwa—dalam perkara tewasnya Prada Lucky Namo yang melibatkan 22 prajurit TNI di Pengadilan Militer Kupang—menjadi titik emosional sekaligus yuridis dalam proses peradilan militer. Di ruang inilah, suara pembelaan terakhir disampaikan, bukan lagi dalam bentuk bukti, melainkan narasi, penyesalan, dalil hukum, dan harapan akan keringanan.
Namun pertanyaan hukumnya tegas:
apakah pledoi dapat membebaskan atau meringankan para terdakwa dari tuntutan 6, 9, dan 12 tahun penjara serta hukuman tambahan pemecatan dari dinas militer sebagaimana dituntut Oditur Militer?
Ataukah sebaliknya, putusan sepenuhnya berada di tangan Majelis Hakim berdasarkan fakta dan pembuktian di persidangan?
Kedudukan Pledoi dalam Hukum Acara Militer
Dalam Hukum Acara Peradilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997), pledoi atau nota pembelaan adalah hak terdakwa, bukan alat bukti.
Secara yuridis:
- Pledoi bukan instrumen pembuktian
- Tidak memiliki kekuatan menghapus fakta hukum yang telah terbukti
- Berfungsi sebagai argumentasi hukum dan moral untuk:
- Menyanggah tuntutan Oditur
- Meminta keringanan
- Menyampaikan keadaan yang meringankan (verzachtende omstandigheden)
Dengan demikian, pledoi tidak dapat membebaskan terdakwa apabila unsur tindak pidana telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut Pasal 183 KUHAP yang juga berlaku secara mutatis mutandis dalam peradilan militer.
Siapa yang Menentukan Putusan?
Jawabannya tegas dan konstitusional:
Majelis Hakim, bukan pledoi, bukan Oditur Militer.
Majelis Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan:
- Fakta persidangan
- Keterangan saksi
- Keterangan terdakwa
- Alat bukti surat dan petunjuk
- Keyakinan hakim yang dibangun dari pembuktian
Pledoi hanya menjadi bahan pertimbangan non-determinatif. Artinya:
- Bisa dipertimbangkan
- Bisa diabaikan
- Tidak mengikat hakim
Dalam filsafat peradilan, pledoi adalah suara nurani terdakwa, sedangkan putusan adalah suara hukum negara.
Analisis KUHP Militer dan Pertanggungjawaban Prajurit
Dalam perkara ini, para terdakwa adalah prajurit aktif, sehingga tunduk pada:
- KUHP Militer
- KUHP Umum (untuk delik umum seperti penganiayaan yang menyebabkan kematian)
- Disiplin Militer dan Sapta Marga
Jika perbuatan terbukti:
- Dilakukan bersama-sama
- Mengakibatkan hilangnya nyawa sesama prajurit
- Dalam konteks relasi hierarkis dan kedinasan
Maka unsur pemberatan pidana justru menguat, bukan melemah.
Prinsip penting dalam hukum militer:
Semakin tinggi disiplin yang dituntut, semakin berat pertanggungjawaban hukum.
Tentang Hukuman Tambahan: Pemecatan dari Dinas Militer
Hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer bukanlah bentuk balas dendam institusi, melainkan instrumen menjaga kehormatan dan moral TNI.
Dalam praktik peradilan militer:
- Pemecatan dijatuhkan jika perbuatan:
- Merusak citra TNI
- Bertentangan dengan nilai keprajuritan
- Tidak lagi mencerminkan kelayakan sebagai prajurit
Pledoi yang berisi:
- Penyesalan
- Permohonan maaf
- Permintaan dipertahankan dalam dinas
tidak secara otomatis menggugurkan hukuman tambahan, jika fakta hukum menunjukkan pelanggaran berat terhadap nilai dasar militer.
Apakah Pledoi Bisa Meringankan Hukuman?
Ya, dalam batas tertentu, tetapi bukan membebaskan.
Pledoi dapat meringankan jika:
- Tidak terbukti sebagai pelaku utama
- Tidak ada niat jahat (mens rea) dominan
- Ada tekanan hierarkis atau perintah
- Ada itikad baik pasca-peristiwa
Namun jika:
- Peran aktif terbukti
- Kekerasan dilakukan secara kolektif
- Akibatnya adalah kematian
Maka ruang keringanan sangat terbatas, bahkan hampir nihil untuk pemecatan.
Hukum Tidak Tunduk pada Air Mata
Dalam perkara Prada Lucky Namo, keadilan bukan hanya soal belas kasihan kepada terdakwa, tetapi juga penghormatan terhadap nyawa prajurit yang hilang dan martabat institusi militer.
Pledoi adalah hak.
Namun kebenaran hukum tidak lahir dari retorika, melainkan dari fakta.
Majelis Hakim Militer tidak menilai siapa yang paling menyesal,
melainkan siapa yang paling bertanggung jawab secara hukum.
Dan dalam negara hukum,
prajurit bersenjata tidak pernah kebal dari hukum—justru harus menjadi teladannya.
✍️ Agustinus Bobe, S.H., M.H
Pengamat Hukum Militer
Penulis Buku Filsafat Hukum, Buku Pidana Pers dari Indonesia Timur
















