Ia resmi berangkat, legal,Pintu yang Dikunci dari Luar: Jeritan PMI Kelaparan di Negeri Jiran yang Nyaris Tak Terdengar bergaji dan dijanjikan perlindungan. Namun pada akhirnya, yang menyalak hanya perut kosong dan pintu terkunci dari luar.
MALAYSIA |LKNTASTIMOR.ID)-Petaling Jaya, 8 Desember 2025 — Dari balik pagar yang digenggamnya erat, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Brebes menatap dunia yang dulu dijanjikan sebagai ruang layak penghidupan. Di negeri tujuan, ia justru dicekik sepi, dikurung kantor berlapis kunci, dan dibiarkan bertarung dengan kelaparan hingga nekat melompat pagar—bukan untuk kabur, hanya untuk sekadar mencari sesuap roti di rumah jiran yang ia bahkan tak kenal.
“Alhamdulillah PMI sudah berada di dalam Shelter KBRI Kuala Lumpur,” ujar Dewi Kholifah, Lembaga Human Trafficking Watch (HTW), yang menjadi saksi fase pemulihan sekaligus saksi telanjang derita yang sempat tak dipercaya orang.
Pintu yang Menyala Palsu, Janji yang Terkunci
PMI itu dikirim secara resmi melalui PT Buana Lintas Karya Bekasi pada 28 Oktober 2025. Bandara Soekarno-Hatta menjadi saksi keberangkatan, KLIA menjadi pintu masuk, dan Agensi Pekerjaan Azam Daya Sdn Bhd menjadi rumah pertama tempat seluruh dokumen disita—paspor, identitas, kontrak hidup, dan hak dasar untuk sekadar mengingat siapa dirinya.
“Pekerja hanya diizinkan menghubungi keluarga sebulan sekali, waktunya satu jam,” tutur Dewi lirih dalam tegaknya advokasi manusia.
Legalitas yang semestinya menjadi payung perlindungan, justru dilipat seperti kertas kusam yang tak dianggap bernilai.
Majikan silih berganti, amarah berganti majikan. Kalimat merendahkan martabat dilontarkan seperti rutinitas harian, lalu pekerja diputar ke kantor agensi lain, dipindahkan lagi, seperti barang yang dikembalikan karena cacat pabrik.
Pada Desember 2025 hingga tanggal 8, ia ditempatkan di sebuah kantor tanpa alamat, pintu dikunci dari luar, dan akses makan nyaris nihil.
Kunci di luar berarti pemaksaan. Kelaparan berarti penghilangan hak hidup. Kantor tanpa alamat berarti penghapusan nama.
Kelaparan yang Melahirkan Keberanian
Tubuh yang lapar bisa menyerah, tetapi batin yang dipaksa hening bisa pecah.
Ia melompat pagar, bukan pencari pelarian, melainkan sekadar pemburu sesuap penyambung hayat.
Namun langkah itu gagal. Tangan tetangga tak sampai, pintu nasib tak segera terbuka.
Di titik nadir, PDRM IPD Petaling Jaya menerima laporan adanya PMI tanpa sehelai dokumen. Sehelai sepinggang, tanpa nama di saku, tanpa identitas untuk mengingatkan bahwa ia manusia dan warga negara.
Dari situ HTW bergerak.
“Kami hadir untuk mengintrogasi keadaan korban dan memohon izin mengantarnya ke KBRI KL,” kata Dewi.
Sistem NAKER memverifikasi ulang:
ia legal, berstatus resmi, bukan pekerja sembunyi-sembunyi.
Maka pertanyaan pun menyala:
apa arti resmi bila manusia tetap dikurung, dipindah seperti paket, dan lapar seperti pelarian?
Solusi, Keadilan, dan Cermin yang Harus Dipaksa Jernih
Kasus ini bukan tunggal.
Ratusan PMI lain sering tak masuk berita, tak sampai judul media, tak pernah kembali ke meja makan keluarganya.
Kita perlu lebih dari sekadar simpati:
- Pengawasan lintas negara yang tak hanya tanda tangan, tetapi turun ke pintu-pintu agensi.
- Sanksi tegas pada agensi penampung yang mengurung dan menahan dokumen.
- Layanan aduan real-time di KBRI yang membuka pintu sebelum lapar menjadi pintu keputusasaan.
Kita tak boleh hanya memulangkan korban;
kita harus mengadili pelaku dan menutup lubang yang membuat korban berikutnya berangkat dengan nasib yang sama.
Di shelter KBRI Kuala Lumpur, ia kini kembali bertemu cahaya dan nama.
Namun setiap pintu yang dulu dikunci dari luar akan selamanya menjadi catatan, bahwa migrasi bukan sekadar perpindahan tenaga, melainkan perpindahan martabat.
“Kami mewakili PMI yang menjadi korban, mengharapkan keadilan sepenuhnya,” tegas Dewi Kholifah atas nama Human Trafficking Watch.
Sebab yang dikejar bukan sekadar keadilan untuk satu tubuh, tetapi juga kebebasan bagi ribuan pintu yang selama ini terkunci dan tak pernah sempat diketuk dunia.
















