JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Di akhir November 2025, ketika Jakarta mulai diguyur hujan pertama dan kota-kota di timur masih hangat oleh angin perbatasan, seorang pemuda dari Belu kembali menorehkan jejak kecil namun gemilang di panggung musik nasional.
Namanya Piche Kota—suara yang lahir dari jalan-jalan merah, dari kampung yang jauh, dari tanah yang mengajarinya bahwa perjalanan adalah bentuk lain dari doa.
“Musik itu cara saya mengingat siapa saya, dan cara saya menjemput siapa saya ingin jadi,” ucapnya berbalok, sore itu, setelah menuntaskan rangkaian kegiatan akhir bulan dari stikernya—rekaman, panggung, pertemuan komunitas, latihan Hananu Hamutuk, dan sesi kreativitas yang ia sebut “waktu pulang ke diri sendiri”.
Jejak November: Hari-Hari yang Penuh Nada
Jadwal di stikernya—yang ia tempel di belakang ponsel—merekam November sebagai bulan padat. Tidak glamor, tidak berisik, tetapi tertata seperti paragraf yang perlahan menemukan ritmenya. Ada catatan kecil:
• Senin – Rekaman vokal final
• Rabu – Kolaborasi gitar akustik
• Jumat – Showcase Sound of Nusantara
• Minggu – Diskusi musik perbatasan & latihan band
Semua sederhana, tapi di tangan Piche yang bekerja dengan kesunyian, tiap agenda berubah menjadi ruang tumbuh.
Di Sound of Nusantara November Showcase, Piche membawakan “Doben” — lagu yang dulu membuatnya dikenal sebagai penglaris café — dan dua materi baru yang sarat aroma kampung halaman. Suaranya, menurut seorang kurator acara, “terdengar seperti seseorang yang terus berjalan meski jalannya sempit.”
Biografi yang Bergerak Pelan, Tapi Pasti
Piche Kota kini tinggal di persimpangan: di satu sisi Jakarta yang menantangnya, di sisi lain Belu yang selalu memanggilnya pulang. Di sela-sela aktivitasnya, ia sering mengaku rindu pada keheningan timur yang merawat masa kecilnya.
“Kadang saya merasa saya dua orang: satu yang mengejar mimpi di kota, satu yang duduk di bale-bale sambil dengar orang kampung bersenda. Mungkin musik saya jembatan di antara keduanya,” katanya, tatapannya jauh tapi hangat.
Ia tidak pernah mau terlihat mewah, meski orang tuanya berkecukupan. Ia memilih jalan musik bukan karena ingin cepat terkenal, melainkan karena ia percaya suara adalah takdir kecil yang diberikan alam padanya.
Romantika Perjalanan: Antara Cahaya Panggung dan Cahaya Dalam Diri
Piche Kota selalu menemukan pola: ia jarang berbicara besar, tapi langkah-langkahnya selalu terasa puitis. November ini, ia lebih sering meluangkan waktu untuk “mengendapkan hidup”—menghabiskan malam dengan gitar, menuliskan fragmen lirik, dan berdiskusi dengan anak-anak muda perbatasan yang ingin membangun ruang seni sendiri.
“Musik bukan tentang siapa paling keras terdengar,” ujarnya, “tapi siapa yang paling sungguh-sungguh datang.”
November menutup dirinya dengan teduh: tidak ada gemuruh besar, namun aura kehadiran Piche di lanskap musik nasional terasa makin matang. Ia menanjak perlahan, seperti matahari yang muncul di timur—tidak pernah tiba-tiba, tapi selalu konsisten.
Menatap Desember: Janji yang Tidak Disuarakan, Tapi Terasa
Desember disebut-sebut akan menjadi bulan penyambung takdir: tur kecil, perilisan kolaborasi, dan kemungkinan tampil kembali di Kupang serta Atambua. Tapi Piche, dengan gayanya yang tenang, tidak mau terlalu cepat bicara.
“Saya hanya ingin terus berkarya. Jika orang mendengarkan, itu bonus dari Tuhan. Yang penting saya tidak berhenti,” katanya berbalok.
Dan mungkin, justru karena kesederhanaan itulah sosoknya terasa romantis—bukan dalam arti percintaan, tetapi dalam cara ia memperlakukan perjalanan hidup sebagai sesuatu yang lembut, penuh hormat, dan sarat makna.
Pada penghujung November 2025, Piche Kota berdiri bukan sebagai bintang besar, melainkan sebagai cahaya kecil yang konsisten tumbuh, bersinar dari perbatasan, dan menyentuh panggung nasional dengan keteduhan yang hanya dimiliki mereka yang berasal dari jalan panjang.
















