Di ribuan kilometer jalan yang membelah hutan Papua hingga pelabuhan Tobelo, energi tidak berjalan sendiri—ia diantar manusia, dijaga ketelitian, dan diawasi kekesadaran.
TIMIKA |LINTASTIMOR.ID)-Di dunia distribusi energi, bensin dan solar bukan sekadar komoditas; ia adalah nadi pergerakan kota, denyut logistik, dan ampas kehidupan modern. Karena itu, di Pertamina Patra Niaga Papua–Maluku, perhatian tidak hanya tertuju pada kilang atau depo, tetapi pada para pengawal sunyi: awak mobil tanki.
Executive General Manager Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku, Awan Raharjo, mengucapkannya dengan nada tegas tetapi tak berlebihan, seolah tahu bahwa keselamatan bukan jargon, melainkan pekerjaan harian yang harus dipelihara:
“Dalam membawa bahan bakar, awak mobil tanki wajib memiliki standar kompetensi yang terus diperbarui. Teknologi kendaraan berkembang, demikian pula kesadaran akan keselamatan operasional,” ujarnya.
Dari Jayapura hingga Sorong, lalu ke Tobelo yang jauh di ufuk Maluku Utara, 95 awak mobil tanki mengikuti Proficiency Test—latihan ketelitian agar distribusi Natal dan Tahun Baru tak sekadar tiba, tetapi tiba tanpa celaka. Bahan bakar sampai di rumah, bandara dan pelabuhan tepat waktu, tanpa kecemasan, tanpa lampu darurat.
Awan menyebut momen ini bukan seremonial tahunan, melainkan persiapan psikologis dan mekanis untuk mencegah apa yang kerap terlambat disadari: risiko.
“Keselamatan harus menjadi prioritas. Barang yang dibawa adalah bahan bakar—berharga sekaligus berbahaya. Awak yang terlatih adalah jaminan distribusi yang andal, tepat waktu, terutama jelang libur akhir tahun,” tuturnya.
Salah satu instruktur adalah nama yang tidak asing di dunia investigasi kecelakaan nasional: Ahmad Wildan, Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan dan Senior Investigator KNKT. Di kelas pelatihan itu, ia mengingatkan bahwa teknologi sebaik apa pun tidak mampu menekan risiko bila manusia lengah.
“Faktor manusia berperan besar. Bahan bakar yang dibawa awak mobil tanki kami sebut dangerous goods—maka kewaspadaan dan kehati-hatian bukan pilihan, melainkan prinsip,” ungkapnya, tenang tanpa intimidasi.
Di jalan panjang Papua–Maluku, di tikungan licin menuju depo, di jembatan sempit antara pulau dan laut, mereka bekerja dalam diam. Tanpa tepuk tangan, tanpa gegap gempita, membawa energi yang membuat kota menyala, pesawat terbang, dan perahu melaju.
Jika distribusi adalah alur kehidupan, maka para awak mobil tanki adalah nadinya—mengalirkan daya ke sudut perbatasan negeri, memastikan energi tiba sebelum dini hari, sebelum antrean, sebelum lampu padam.
Dan bila keselamatan adalah disiplin, maka mereka adalah kaum yang menghidupinya:
tak bernama di spanduk, tak viral di jagat maya, tetapi tak tergantikan dalam perjalanan energi Republik.
















