ATAMBUA|LINTASTIMOR .ID)-Intervensi 2026 dan Janji Baru bagi Para Pengabdi di Ruang-ruang Belajar
Belu sedang belajar untuk lebih adil.
Di tengah ruang-ruang kelas yang selama ini ditopang oleh para guru komite dengan gaji jauh dari layak, pemerintah daerah akhirnya menyalakan lilin perubahan.
Guru-guru Senyap yang Menopang Sekolah
Mereka berjalan tanpa seremoni: guru komite—baik di sekolah negeri maupun swasta—yang setiap hari membagi ilmu, tetapi pulang dengan honor yang kadang tidak mencapai harga sepasang sepatu sekolah. Bahkan, beberapa menerima hanya Rp 300 ribu per triwulan, jumlah yang menyakitkan untuk disebut sebagai “penghargaan”.
Selama bertahun-tahun, sistem itu dibiarkan hidup oleh kebiasaan: honor yang bersumber dari iuran orang tua, tergantung ekonomi kampung, nasib panen, dan tabungan keluarga. Pendidikan berdiri di atas ketidakpastian.
Di sinilah Belu merasa perlu bertanya pada dirinya sendiri: Apakah sebuah peradaban bisa dibangun dengan pilar pengetahuan yang upahnya masih digantung angin?
Anggaran 2026: Pemerintah Turun Tangan
Bupati Belu, Willybrodus Lay, memilih menjawab dengan tindakan. Ia tak menutupi kenyataan pahit yang telah berlangsung lama.
“Kejadian ini bukan baru sekarang. Ini persoalan memang sejak lama. Kami pemerintah akan memperhatikan persoalan ini,” ujar Bupati Lay, Jumat (28/11/2025).
Pernyataan itu bukan sekadar penjelasan, melainkan pengakuan moral: negara daerah punya utang kepada para guru komite.
Karena itu, tahun anggaran 2026 menjadi titik balik. Pemerintah menyiapkan intervensi resmi, bukan lagi berbasis sumbangan masyarakat. Total Rp 2.688.000.000 direncanakan sebagai anggaran khusus untuk guru komite SD dan SMP.
“Tahun depan akan diintervensi. Kita sudah anggarkan sekitar Rp 2,6 miliar lebih… Tahun depan kita eksekusi,” tegas Bupati Lay.
Anggaran yang kelak menggantikan kebergantungan pada iuran orang tua adalah bentuk pembenahan struktural: menggeser tanggung jawab dari kantong rakyat kecil menuju kewajiban negara.
Membaca Dasar Hukumnya: Keadilan Anggaran sebagai Keharusan
Intervensi ini tidak berdiri tanpa kerangka hukum. Dalam logika keuangan negara, beberapa prinsip menjadi alasannya:
- Amanat Konstitusi (UUD 1945, Pasal 31): negara wajib membiayai pendidikan dasar, dan itu mencakup tenaga pendidik.
- UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Guru komite adalah bagian dari tenaga pendukung mutu.
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: pendidikan dasar menjadi urusan wajib daerah.
- UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah: membuka ruang pembiayaan melalui belanja wajib pelayanan dasar.
- Prinsip Value for Money dalam APBD: belanja harus efektif, efisien, dan dirasakan langsung oleh masyarakat; honor guru komite termasuk kebutuhan mendesak yang berdampak luas.
Secara politis, ini juga memastikan bahwa Belu tidak lagi menggantung proses pendidikan pada kemampuan dompet orang tua.
Refleksi: Mengembalikan Martabat, Bukan Sekadar Menambah Nominal
Honor adalah angka, tetapi di balik angka ada pengakuan martabat.
Seorang guru komite berdiri di depan kelas bukan sekadar mengajar, tetapi merawat cita-cita anak-anak Belu. Selama ini, sebagian dari mereka tetap betah mengabdi meski kesejahteraan mereka jauh tertinggal.
Intervensi 2026 bukan janji kosong; ia adalah undangan kepada masa depan yang lebih adil.
Belu belajar bahwa pendidikan tak boleh ditopang oleh kebaikan hati masyarakat semata—tetapi oleh kebijakan yang sadar bahwa guru komite adalah penjaga masa depan.
Mungkin kelak, ketika anggaran itu tiba, ada guru yang pulang ke rumah sambil tersenyum, berkata dalam hati: akhirnya, pemerintah melihat kami.
Dan di situlah keadilan menemukan pangkalnya—pelan, tetapi pasti.
















