BANTUL |LINTASTIMOR.ID)— Pada pagi yang bening di kaki perbukitan Imogiri, rombongan Dekranasda Mimika melangkah memasuki ruang pamer Dekranasda Bantul — sebuah ruang yang bukan sekadar galeri, melainkan etalase perjalanan panjang UMKM yang tumbuh dari tangan-tangan tekun para perajin Jawa.
Dari Mimika yang jauh di timur, mereka datang membawa harapan: bagaimana menenun kembali masa depan kerajinan mereka sendiri dengan inspirasi yang hidup dari Yogyakarta.
Kunjungan kerja yang dipimpin Ketua Dekranasda Mimika, Suzy Herawati Rettob, disambut hangat oleh Ketua Dekranasda Bantul, Emmi Masruroh. Pertemuan itu bukan sekadar temu lembaga, tetapi dialog dua kebudayaan yang sama-sama percaya bahwa kemajuan lahir dari kemandirian dan kreativitas masyarakatnya.
Di ruang pamer itu, rombongan Mimika mengamati satu per satu produk berbasis potensi lokal: anyaman, batik, kayu, perak, dan ragam karya UMKM yang bertahun-tahun dibina melalui ekosistem yang tertata. Bantul adalah contoh hidup bagaimana kerajinan bisa menjadi nafas ekonomi sekaligus penjaga identitas.
Dari kunjungan singkat itu lahirlah satu kesadaran: membangun UMKM bukan hanya soal pelatihan, tetapi menciptakan ruang saling percaya antara pemerintah, perajin, dan pasar. Mimika ingin belajar itu.
Perjalanan berlanjut ke Kampung Batik Giriloyo, tempat di mana malam cair, lilin panas, dan kain mori berbicara dalam bahasa seni. Di sinilah, para peserta Mimika duduk bersisian dengan para pengrajin lokal. Mereka belajar bahwa membatik bukan sekadar teknik, melainkan kesabaran, ketenangan, dan penghormatan pada garis-garis yang dituangkan satu per satu.
Mentor batik, Nur Ahmadi, memandu dengan penuh kelembutan, menjelaskan filosofi, ritme kerja, dan ritual pewarnaan yang selama ratusan tahun dipertahankan masyarakat Wukirsari. Setelah itu, masing-masing peserta mulai menorehkan garis pertama di kain mereka — garis yang tidak hanya memulai motif batik, tetapi juga membuka cakrawala baru tentang kemungkinan seni di Mimika.
Di tengah proses belajar, Ketua Dekranasda Mimika, Suzy Rettob, menyampaikan refleksi yang menjadi inti perjalanan ini.
“Hari pertama ini bukan sekadar belajar batik. Ini tentang membangun cita rasa, membangun keberanian untuk melahirkan seni dari tanah kita sendiri — umpamanya lukisan khas Kamoro yang bernafaskan budaya Mimika.”
Kutipan itu mengalir seperti pesan pulang dari Yogyakarta: bahwa seni bukan untuk ditiru, tetapi dijadikan jendela untuk menatap kekhasan daerah sendiri.
Kunjungan ini menjadi awal dari langkah panjang Dekranasda Mimika untuk memperkuat pembinaan UMKM, memperkaya kerajinan lokal, dan membuka ruang kreativitas masyarakat. Dari ruang pamer Bantul hingga tungku malam di Giriloyo, rombongan Mimika pulang membawa sesuatu yang lebih dari sekadar pengetahuan — mereka membawa percikan inspirasi.
Yang kini tersisa adalah bagaimana percikan itu dijaga, dipelihara, lalu ditiup menjadi nyala yang mampu menerangi masa depan kerajinan Mimika.
















