Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Negara yang Bocor dari Dalam: Ketika Seragam Menjadi Tameng Kejahatan

44
×

Negara yang Bocor dari Dalam: Ketika Seragam Menjadi Tameng Kejahatan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Negara tidak selalu runtuh karena serangan dari luar.
Sering kali ia bocor perlahan—dari dalam—melalui tangan-tangan yang seharusnya menjaga, bukan merampok.

Di Istana Negara, Senin, 15 Desember 2025, Presiden Prabowo Subianto membuka satu luka lama yang selama ini hanya dibisikkan di ruang gelap: keterlibatan pejabat dan aparat berseragam dalam praktik penyelundupan ilegal. Luka itu kini disibak ke meja sidang kabinet, tanpa metafora, tanpa basa-basi.

Example 300x600

“Saya dapat laporan,” kata Presiden, “ada pejabat-pejabat, ada petugas TNI, ada petugas Polri yang terlibat.”

Kalimat itu singkat. Namun bobotnya setara palu hakim yang mengetuk ruang sidang nurani bangsa.

Di hadapan para menteri dan wakil menteri, Prabowo tidak sedang berbicara sebagai politisi. Ia berbicara sebagai kepala negara yang menyadari satu kenyataan pahit: hukum tidak selalu kalah oleh kejahatan, tetapi kerap dikalahkan oleh pengkhianatan dari dalam sistem.

Ia pun memerintahkan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk bertindak tanpa ragu, tanpa perlindungan korps, tanpa kompromi.

“Ini harus kita hadapi dengan serius,” tegasnya, “aparat-aparat yang melindungi penyelundupan dan kegiatan ilegal harus ditindak.”

Dalam perspektif hukum pidana, pernyataan ini bukan sekadar instruksi moral. Ia adalah penegasan asas pertanggungjawaban pidana individual: siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan, apalagi untuk melindungi kejahatan terorganisir, telah melakukan kejahatan jabatan—sebuah delik yang menghancurkan fondasi negara hukum.

Illegal logging. Tambang ilegal. Penyelundupan lintas batas.
Daftarnya panjang, nyaris seperti katalog kejahatan struktural.

Negara, kata Presiden, telah mengerahkan kekuatan TNI dan Polri. Namun kekuatan itu justru menjadi paradoks ketika sebagian di dalamnya memilih bersekongkol dengan pelaku kejahatan.

“Masih saja ada pihak-pihak yang tidak mau menghormati hukum di Indonesia,” ujarnya.

Dalam bahasa hukum, inilah yang disebut state capture crime—ketika instrumen negara dibajak untuk kepentingan ilegal. Seragam berubah menjadi tameng. Jabatan menjelma pelindung. Hukum dikerdilkan menjadi alat tawar-menawar.

Dampaknya bukan kecil. Ia sistemik. Ia merampok masa depan.

Presiden memberi satu contoh yang mencolok: penyelundupan timah di Bangka Belitung. Praktik yang berlangsung bertahun-tahun, senyap namun rakus, hingga negara diperkirakan merugi ratusan triliun rupiah.

Angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah sekolah yang tak pernah dibangun, rumah sakit yang tak pernah berdiri, jalan yang tak pernah diaspal.

“Penyelundupan ini menyebabkan kerugian besar bagi ekonomi kita,” kata Prabowo.

Dalam kerangka hukum pidana ekonomi, penyelundupan bukan kejahatan biasa. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan negara, melanggar prinsip keadilan distributif, dan merusak kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.

Lebih jauh, Presiden menyentuh satu simpul paling sensitif: relasi negara dan korporasi.

“Tidak boleh ada korporasi yang mengalahkan negara.”

Kalimat ini terdengar sederhana, tetapi revolusioner dalam praktik. Sebab sejarah modern Indonesia mencatat bagaimana kekuasaan modal kerap lebih berdaulat daripada hukum. Korporasi dibutuhkan, kata Presiden, tetapi ia tidak boleh mengatur negara, apalagi mengalahkannya.

Dalam teori hukum pidana modern, korporasi bukan entitas netral. Ia bisa menjadi subjek hukum pidana, ketika keuntungan dibangun di atas pelanggaran sistematis, suap, dan kolusi dengan aparat.

Pidato Prabowo hari itu bukan sekadar peringatan. Ia adalah deklarasi sikap: negara tidak boleh kalah oleh seragam yang khianat, oleh modal yang rakus, oleh hukum yang dibeli.

Kini pertanyaannya bukan lagi apakah perintah itu keras.
Melainkan: apakah penegakannya akan lebih keras dari persekongkolannya?

Karena dalam negara hukum, keadilan tidak diukur dari seberapa lantang ia diumumkan, tetapi dari seberapa berani ia ditegakkan—bahkan ketika pelakunya mengenakan seragam negara.

Dan mungkin, di titik inilah sejarah sedang menunggu:
apakah hukum akhirnya berdiri tegak,
atau kembali berlutut di hadapan kuasa gelap yang sama.

Example 300250