ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)—
Natal selalu tahu ke mana ia harus singgah. Ia tidak memilih istana megah atau aula diplomasi berlapis marmer. Natal justru turun perlahan ke rumah-rumah yang menyimpan sejarah, ke tanah yang pernah retak oleh garis batas, lalu menyatukannya kembali dengan bahasa paling purba: kasih.
Kamis sore, 25 Desember 2025, Rumah Jabatan Bupati Belu menjadi saksi sunyi sebuah peristiwa yang melampaui protokol kenegaraan.
Usai rangkaian Open House Natal, pintu rumah itu terbuka menyambut Presiden Republik Demokratik Timor Leste, José Ramos Horta. Ia datang bukan sekadar sebagai kepala negara, melainkan sebagai anak sejarah yang kembali menyapa tanah perbatasan.
Di halaman yang diterangi cahaya Natal, Presiden Ramos Horta disambut Bupati Belu Willybrodus Lay, S.H, Wakil Bupati Vicente Hornai Gonsalves, S.T, serta seluruh unsur Forkopimda Kabupaten Belu. Tidak ada jarak yang mengeras. Tidak ada bahasa tubuh kekuasaan. Yang hadir hanyalah kesederhanaan yang matang—senyum, jabat tangan, dan percakapan yang mengalir tanpa diburu waktu.
Natal sore itu menanggalkan atribut. Negara berhenti berbicara dengan suara kerasnya, lalu memilih berbisik.
“Perbatasan ini tidak pernah benar-benar memisahkan kami,” ucap seorang tokoh daerah, pelan, seolah takut mengganggu suasana. “Ia hanya mengajarkan kami cara lain untuk saling merindukan.”
Silaturahmi itu berlangsung dalam kehangatan yang sulit diterjemahkan oleh laporan resmi. Di ruang tamu rumah jabatan, sejarah Indonesia dan Timor Leste tidak diperdebatkan, tidak diadili, apalagi disesali.
Ia diterima sebagai bagian dari perjalanan panjang dua bangsa yang pernah berjalan bersama, lalu memilih jalan masing-masing—tanpa memutus tali kemanusiaan.
Bupati Belu Willybrodus Lay, S.H menyambut kunjungan ini sebagai simbol paling jujur dari makna perbatasan itu sendiri: bukan tembok, melainkan beranda.
“Di Belu, kami hidup dengan kesadaran bahwa batas negara tidak pernah mampu membatasi kasih. Natal mengingatkan kami akan hal itu,” tuturnya.
Presiden José Ramos Horta mendengarkan dengan tenang.
Tatapannya menyiratkan pengakuan tak terucap: bahwa tanah perbatasan adalah ruang ingatan bersama, tempat luka sejarah berangsur menjadi kebijaksanaan.
Di luar, sore merambat menuju malam Natal. Angin perbatasan berembus lembut, membawa aroma laut dan tanah kering Timor. Di dalam rumah jabatan itu, dua negara duduk dalam satu ruang kemanusiaan, setara, tanpa dominasi, tanpa klaim.
Natal di Belu hari itu tidak menciptakan perjanjian baru. Ia melakukan sesuatu yang lebih penting: merawat yang sudah ada—kepercayaan, persaudaraan, dan harapan.
Dan di perbatasan, ketika Presiden datang sebagai saudara, kita belajar satu hal yang kerap dilupakan dunia modern:
bahwa diplomasi paling abadi lahir bukan dari meja perundingan, melainkan dari rumah yang pintunya dibuka dengan tulus.
















