Di Mimika, Desember seperti menahan napas—sunyi, belum sepenuhnya berbunga menjadi sukacita.
TIMIKA |LINTASTIMOR.ID|— Menjelang Natal dan Tahun Baru, Mimika seakan berdiri di antara dua waktu: kenangan perayaan yang penuh cahaya, dan kenyataan ruang publik yang masih polos tanpa sentuhan merah-hijau, tanpa gemerlap lampu yang biasanya menandai datangnya hari besar umat Kristiani. Di berbagai sudut kota, masyarakat menengok kalender, berharap warna Desember segera turun menyelimuti jalanan.
Harapan itu pun perlahan disampaikan kepada pemerintah—harap agar Mimika tidak hanya aman dan tertib, tetapi juga mampu memancarkan kegembiraan kolektif. Harap agar ada panggung bersama tempat tawa dan doa saling berbaur. Harap agar Natal tahun ini tak hanya dirayakan di ruang-ruang keluarga, tetapi juga di ruang-ruang publik yang ramah cahaya.
Wakil Bupati Mimika, Emanuel Kemong, menangkap gelombang rasa itu. Dalam percakapannya, ia berbicara lirih tetapi pasti, seolah memahami bahwa Natal bukan sekadar ritual, melainkan ruang batin bagi banyak orang.
“Kita memang berencana menggelar Natal bersama seluruh masyarakat Mimika,” ujarnya, Jumat (12/12/2025). “Namun saat ini kami fokus pada pemantapan keamanan serta penyelesaian beberapa masalah penting di Kwamki Narama dan tapal batas Kapiraya.”
Ada kesadaran bahwa damai adalah prasyarat sukacita. Maka pemerintah memilih merapikan hal-hal mendasar terlebih dahulu sebelum menata panggung Natal.
Ia melanjutkan dengan nada optimistis, seolah memberikan lampu kecil di ujung jalan Desember:
“Setelah urusan-urusan itu selesai, kita akan kumpulkan semua stakeholder untuk membentuk panitia. Panitia inilah nanti yang merancang perayaan Natal dan memastikan seluruh lapisan masyarakat dapat terlibat.”
Di tengah itu, Wakil Bupati kembali mengingatkan Surat Edaran Bupati Mimika tentang persiapan menyambut Nataru—imbauan yang mengajak masyarakat turut menjadi pelita kecil bagi Mimika.
Rumah-rumah diminta dihiasi, kantor-kantor diberi sentuhan meriah, dan tempat usaha disarankan menghadirkan sejumput cahaya entah dari lampu gantung atau pohon Natal mini. Sebab, suasana Natal tidak selalu lahir dari panggung megah—kadang ia lahir dari rumah-rumah biasa yang memasang satu lampu kecil di jendela.
“Imbauan dari Bupati sudah jelas—mari kita bersama-sama menghiasi daerah kita agar suasana Nataru terasa, dari rumah masing-masing sampai jalanan,” tutupnya.
Mimika kini menunggu: menunggu cahaya, menunggu kabar tentang panitia, menunggu sebuah Desember yang lebih bersuara. Di sela kesibukan keamanan dan pemerintahan, masyarakat memeluk harapan bahwa Natal tahun ini akan menjadi panggung kebersamaan—hangat, penuh warna, dan benar-benar hadir di hati Mimika.
















