ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-Kota Atambua sunyi selepas hujan. Di Gedung Wanita Betelalenok, para pendamping pertanian duduk berhadap-hadap: mendengar, dinilai, dan diminta membuktikan kembali panggilan tugasnya.
“Kalau laporan semua bagus tetapi masyarakat di lapangan hasilnya turun, berarti laporan itu tidak benar.”
Nada Wakil Bupati Belu, Vicente Hornai Gonsalves, ST., terdengar datar namun mengandung ketegasan yang tak bisa ditawar. Dialog bersama Koordinator dan PPL se-Kabupaten Belu pada Kamis (4/12/2025) itu bukan sekadar rapat, melainkan cermin untuk menatap kembali tanggung jawab yang kerap kabur di ladang dan di angka laporan.
PPL dipanggil hadir bukan hanya sebagai pencatat produksi, melainkan sebagai pendamping yang mengajar, mengulirkan pengetahuan, mengawasi bibit hingga tumbuh menjadi panen.
Sebab, petani—di tengah cuaca yang makin sulit diramal—membutuhkan bukan sekadar seruan, tetapi kehadiran yang konsisten.
“Hari ini kita bertemu untuk mendengar langsung laporan dari tiap desa dan kecamatan. Saya ingin melihat bagaimana pendampingan setelah bibit dibagikan,” ujar Wabup.
Nada syukurnya disampaikan, tetapi setelahnya ia menggeser kursi wicara menuju realitas lapangan: jagung yang tak selalu mencapai target, pendampingan yang tak selalu setia, dan laporan yang kadang lebih rapi daripada kenyataan.
Di ruang yang penuh kursi hijau itu, angka produksi jagung tak lagi sekadar grafik. Ia berubah menjadi ukuran moral:
Minimal satu hektar harus mengangkat 6–7 ton.
“Baru di situ kita sebut PPL bekerja dengan benar,” tegasnya.
Ada permintaan yang terdengar seperti tantangan, tetapi sejatinya adalah panggilan profesi: setiap PPL harus memiliki lahan percontohan minimal satu hektar. Sebuah lahan yang tak hanya ditanami benih, melainkan keyakinan bahwa pendamping adalah teladan pertama, bukan pengamat terakhir.
“PPL hadir untuk membawa perubahan. Karena itu, data harus akurat, dan lahan percontohan wajib ada,” ucap Wabup, menyisipkan harapan yang juga berisi tuntutan.
Pengawasan pun berubah wajah.
Tak lagi papan absensi dan paraf tinta.
Dinas Kominfo menyiapkan absensi digital berbasis koordinat GPS—kehadiran yang hanya sah jika kaki benar ada di tanah tugasnya.
“Jika PPL tidak berada di titik koordinat tugasnya, maka ia tidak bisa absen,” jelasnya.
Teknologi bukan ancaman, tetapi alat yang menyatakan siapa yang benar-benar mendampingi ladang, bukan hanya menuliskan hadir.
Dalam pertemuan berikutnya semua data diminta dibawa: eksisting dan potensi, apa adanya dan apa yang dapat dicapai. Laporan tak lagi sekadar angka panen, tetapi wajah jujur dari musim tanam.
Di akhir dialog, suasana terasa teduh. Para Koordinator, Pengamat Hama, Dinas Pertanian, hingga Staf Khusus Bupati duduk bersama, menyadari bahwa pendampingan pertanian selalu lebih besar dari kalender musim tanam.
Sebab, di balik jagung dan laporan, ada satu pernyataan yang tak bisa diingkari:
Pertanian bergerak sejauh kesetiaan para pendampingnya menjaga tanah, menuntun petani, dan hadir di titik koordinat pengabdian.
















