Oleh: John NR Gobai
Pengantar
Setiap kali saya menginjakkan kaki di Timika, hati saya selalu tertarik ke Pomako. Di sana saya menyaksikan denyut kehidupan masyarakatnya—ada yang menjadi buruh bagasi, pedagang, dan tentu saja nelayan. Sebagian memang berasal dari Pomako, sebagian lagi datang dari kampung-kampung sekitar untuk mengadu nasib.
Namun, pemandangan permukiman mereka sungguh memprihatinkan. Maka, saya meyakini bahwa penataan melalui program Kampung Nelayan menjadi kebutuhan mendesak.
Kampung Nelayan
Kampung nelayan bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah mozaik kehidupan, terbentuk dari kesamaan budaya dan mata pencaharian yang berpaut pada laut.
Laut menjadi rahim yang melahirkan identitas, sekaligus sahabat setia yang memberi penghidupan.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 Tahun 2022, Kampung Nelayan adalah permukiman di mana mayoritas masyarakat menggantungkan hidup sebagai nelayan.
Kesamaan nilai itu menjelma dalam pola ruang, rumah, hingga kebiasaan harian. Tetapi, tiap kampung nelayan tetap memendam kekhasan tersendiri, memberi warna pada kekayaan budaya bangsa.
Konsep Kampung Nelayan
Permukiman nelayan lahir dari perpaduan pola pikir, budaya, dan kondisi alam. Rumah panggung tinggi atau rumah tapak sederhana, semuanya adalah jawaban atas pasang surut laut, atas ancaman dari luar, dan atas kehangatan komunitas.
Dalam skala kampung, letak hunian dekat laut menjadi ciri utama. Tambatan kapal, tempat pelelangan ikan, hingga beranda rumah tempat jaring dijahit—semua hadir sebagai denyut nadi kehidupan.
Kampung Nelayan Pomako
Pomako, di Distrik Mimika, adalah wajah sejati kampung nelayan. Mayoritas penduduknya hidup dari laut, berpijak pada filosofi 3 S: Sagu, Sampan, Sungai.
Di sana sudah ada pelabuhan pendaratan ikan dan tempat pelelangan, namun perkampungan nelayan masih perlu ditata. Pemerintah perlu menghadirkan kampung nelayan yang layak—dengan jalan, drainase, air bersih, listrik, sekolah, rumah ibadah, gudang, dan ruang terbuka tempat nelayan berkumpul serta memperbaiki jaring.
Penutup
Hunian nelayan bukan hanya soal atap yang menaungi, melainkan juga tentang ruang yang tangguh menghadapi bencana, fleksibel mengikuti perubahan zaman, dan tetap menjaga akar budaya.
Pomako membutuhkan kampung nelayan yang bermartabat—bukan sekadar tempat tinggal, tetapi rumah besar bagi harapan.
English Version
Introduction
Whenever I set foot in Timika, my heart is drawn to Pomako. There, I see the rhythm of life—porters, traders, and above all, fishermen. Some are born in Pomako, others come from nearby villages, all bound by the sea.
Yet their settlements are troubling. This is why I believe a well-planned Fishermen’s Village program is urgently needed.
Fishermen’s Village
It is more than a settlement; it is a mosaic of life, shaped by culture and sustained by the sea. The ocean is both womb and companion, nurturing identity and livelihood.
According to the Ministerial Regulation No. 34/2022, a Fishermen’s Village is defined as a community where most residents earn their living as fishermen.
This shared dependence creates common patterns in housing and lifestyle, though each village retains its uniqueness, enriching the nation’s cultural wealth.
Concept of a Fishermen’s Village
Such settlements arise from the fusion of thought, culture, and nature. Stilt houses or simple ground homes—all are responses to tidal waters, external threats, and the warmth of community.
At the village scale, proximity to the sea is essential. Boat moorings, fish markets, and verandas where nets are mended become the heartbeat of life.
Fishermen’s Village of Pomako
Pomako, in Mimika District, embodies the essence of a fishermen’s village. Its people live by the sea, guided by the philosophy of the Three S: Sago, Sampan (boat), and Sungai (river).
Though a fishing port and market already exist, the settlement itself needs proper planning. Government must build a dignified fishermen’s village—complete with roads, drainage, clean water, electricity, schools, worship places, warehouses, and open spaces for gathering and mending nets.
Conclusion
A fishermen’s home is not just a shelter; it is a resilient space, disaster-aware, adaptive to change, yet rooted in culture.
Pomako deserves such a village—a home not only for living, but for dreaming.