Oleh: Agustinus Bobe,S.H, M.H
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan nasional yang kerap terfokus pada pusat kekuasaan dan kota-kota besar, kehidupan di wilayah perbatasan Indonesia—terutama perbatasan darat dengan Republik Demokratik Timor Leste—sering kali luput dari perhatian. Padahal, perbatasan bukanlah garis mati. Ia hidup, berdetak, dan menjadi simpul penting dalam kedaulatan, identitas, dan integrasi bangsa. Di sinilah media lokal dan jurnalisme perbatasan memainkan peran yang sangat vital.
Menjadi Mata dan Suara Perbatasan
Di wilayah-wilayah seperti Belu, Malaka, dan Timor Tengah Utara, media lokal bukan hanya peliput informasi, tetapi juga menjadi penyambung suara masyarakat yang sering kali tidak terdengar oleh pusat. Isu-isu seperti keterbatasan infrastruktur, akses pendidikan dan kesehatan, ketimpangan pembangunan, serta kompleksitas hubungan sosial lintas batas, hanya bisa dipahami dan diangkat secara utuh oleh media yang benar-benar hidup di tengah masyarakat perbatasan.
Media di sini tidak sekadar melaporkan, tapi merekam denyut kehidupan tapal batas, sekaligus mengoreksi narasi tunggal pembangunan nasional yang cenderung Jakarta-sentris.
Menjaga Nasionalisme, Mencegah Disintegrasi
Di kawasan seperti Atambua dan Motaain, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, identitas budaya sering kali bersifat hibrid—berbaur antara etnisitas, bahasa, dan sejarah. Dalam konteks ini, media lokal berperan penting dalam menumbuhkan rasa nasionalisme yang sehat, bukan dengan retorika kosong, tetapi melalui narasi inklusif: bahwa menjadi Indonesia di perbatasan tidak berarti menanggalkan kearifan lokal, tetapi justru merawatnya dalam bingkai kebangsaan.
Tanpa media yang berpihak pada kebenaran dan kebhinekaan, perbatasan rentan dimasuki oleh hoaks, provokasi, bahkan hasutan separatis. Oleh karena itu, jurnalisme perbatasan adalah garda depan ketahanan informasi.
Menjadi Jembatan Antarbangsa
Peran media di perbatasan juga melampaui batas-batas administratif negara. Media berpotensi menjadi jembatan diplomasi kultural antarwarga di dua negara bertetangga, terutama dalam konteks Indonesia–Timor Leste yang punya sejarah emosional dan politik yang kompleks.
Pemberitaan yang adil, empatik, dan edukatif bisa membangun pemahaman lintas batas, mempererat hubungan sosial ekonomi, bahkan mempercepat resolusi konflik seperti sengketa lahan, pernikahan campur, atau perlintasan tradisional.
Tantangan Media Perbatasan
Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap tantangan besar yang dihadapi media perbatasan: minimnya sumber daya, keterbatasan akses teknologi, serta lemahnya perlindungan terhadap jurnalis. Banyak wartawan di perbatasan bekerja nyaris tanpa dukungan, menghadapi tekanan dari elit lokal, hingga terancam karena keberpihakannya kepada rakyat.
Di era digital, tantangan ini diperparah oleh dominasi media nasional dan platform media sosial yang kerap menyingkirkan narasi lokal. Maka negara perlu hadir: memberi afirmasi, pelatihan, dan insentif bagi media lokal di kawasan strategis perbatasan.
Penutup
Media perbatasan bukan sekadar pelengkap demokrasi. Ia adalah penyangga kedaulatan, penjaga harmoni, dan penggerak keadilan sosial di wilayah yang jauh dari sorotan. Karena itu, memperkuat media di perbatasan adalah investasi dalam menjaga keutuhan bangsa dan mempererat tali persaudaraan lintas batas.
Sebagaimana perbatasan tidak boleh diabaikan, suara media di perbatasan juga tidak boleh dibungkam.