Ada wajah-wajah yang tidak banyak bicara, namun ketika menatapnya, kita seakan melihat peta luas yang pernah ia lalui. Begitulah Alfred Papare—seorang perwira yang hidupnya seperti sungai panjang yang mengalir dari hulu sunyi hingga muara penuh tanggung jawab. Ia lahir bukan sebagai sosok yang riuh, melainkan yang mengendap. Barangkali itu warisan dari kakeknya, Silas Papare, Pahlawan Nasional yang memilih perjuangan senyap dan penuh tekad untuk masa depan bangsanya.
Di Mimika, angin pagi sering membawa aroma kabut yang turun dari pegunungan. Dalam kabut seperti itu, seorang anak bernama Alfred pernah berlari, menyusuri jalan tanah menuju sekolah. Tak ada yang menyangka bahwa anak yang sederhana itu kelak mengemban mandat menjaga stabilitas sebuah wilayah yang nama-namanya kini menjadi catatan sejarah—Pegunungan Bintang, Raja Ampat, Jayapura, hingga tanah-tanah sunyi perbatasan Papua.
Ia bukan hanya perwira tinggi.
Ia adalah catatan panjang tentang bagaimana seseorang ditempa oleh ruang, waktu, dan kesunyian.
Lelaki yang Tumbuh dari Sunyi
Tidak banyak orang memahami bahwa dunia intelijen membutuhkan karakter yang lahir secara alami: ketenangan, kemampuan membaca situasi, dan kesabaran yang hampir seperti meditasi. Alfred tidak memilih bidang ini; bidang inilah yang seakan memilihnya.
▌“Ada hal-hal yang tidak perlu disuarakan, tetapi harus dilakukan,”▐ katanya suatu waktu kepada seorang junior.
Kalimat itu lahir dari pengalaman bertahun-tahun hidup dalam dunia yang menuntut kehati-hatian, ketepatan, dan keberanian tanpa tepuk tangan.
Dalam perjalanan hidupnya, Alfred menjalani pendidikan yang tampak linear—SD, SMP, SMA, hingga Akpol. Tetapi di dalamnya tersimpan lapisan-lapisan kecil yang membentuk dirinya: nilai kerja keras, disiplin, dan tanggung jawab yang diwariskan keluarga.
Keluarga Papare bukan keluarga sembarangan. Ia tumbuh dengan cerita tentang tanah, tentang perjuangan, dan tentang manusia yang memilih prinsip di tengah hidup yang tak selalu ramah.
Ruang-Ruang Tugas yang Mendidih
Ketika ia ditempatkan di berbagai wilayah di Papua, Alfred belajar bahwa setiap daerah memiliki denyutnya sendiri. Pegunungan Bintang yang sunyi, Raja Ampat yang menawan namun penuh dinamika lokal, atau Jayapura yang padat dan kompleks—semuanya meninggalkan jejak pada dirinya.
Setiap jabatan adalah ruang uji. Setiap mutasi adalah halaman baru dalam buku hidupnya.
Di Pegunungan Bintang, ia belajar bahwa keberanian bukan tentang suara keras, melainkan tentang keteguhan. Di Raja Ampat, ia belajar bahwa konflik kecil bisa berdampak besar bila diabaikan. Di Jayapura, ia belajar bahwa kota adalah labirin yang menuntut kecerdasan navigasi sosial.
Dan di Mimika serta Papua Tengah, ia berhadapan dengan realitas paling kompleks: kerentanan dan harapan hidup berdampingan di tanah yang sama.
Ada malam-malam ketika ia harus mengambil keputusan yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun—karena begitulah dunia intel bekerja. Ia membawa banyak rahasia, tetapi bukan untuk kekuasaan; melainkan untuk menjaga nyawa banyak orang.
Kesetiaan yang Tidak Ditemukan di Buku
Ada satu hal yang membuat perjalanan Alfred berbeda: ia menjalani semua itu tanpa ambisi berlebih. Ia tidak mengejar pangkat sebagai tujuan; pangkat hanyalah sebuah titik dalam garis panjang pengabdian.
▌“Saya hanya berjalan. Dan Tuhan yang menempatkan,”▐ ucapnya kepada seorang rekan yang menanyakan bagaimana ia bisa tetap tenang menghadapi tekanan jabatan.
Kesederhanaan itu membentuk reputasinya. Orang-orang di sekitarnya tahu bahwa Alfred adalah tipe pemimpin yang tidak butuh sorotan untuk bekerja. Jika ia muncul, itu karena situasi memanggil, bukan karena ia ingin tampil.
Papua sebagai Rumah dan Tanda Tanya Abadi
Tak semua orang memiliki hubungan spiritual dengan tanah kelahirannya. Alfred memilikinya. Ada ikatan batin antara dirinya dan Papua—gunung-gunung tinggi, sungai-sungai besar, dan kampung-kampung yang terasa seperti memori dari kehidupan sebelumnya.
Menjadi Kapolda Papua Tengah bukan sekadar jabatan; itu adalah pulang ke rumah, tetapi dengan tugas yang jauh lebih berat.
Di ruang kerjanya, sering kali ia berdiri memandang peta. Tidak banyak kata yang ia ucapkan. Tetapi seorang staff pernah memotret siluetnya dan berkata,
▌“Kalau dilihat dari jauh, ia seperti sedang membaca masa depan Papua.”▐
Barangkali ia tidak membaca masa depan, tetapi ia sedang memastikan masa kini tetap tegak.
Lelaki yang Belajar dari Lelaki Sebelumnya
Menjadi cucu Pahlawan Nasional memberikan bayangan panjang. Tetapi Alfred tidak berlomba dengan bayangan itu. Ia justru merawatnya. Silas Papare adalah kisah tentang keberanian; Alfred Papare adalah kisah tentang konsistensi.
Keduanya bertemu dalam satu kata: pengabdian.
Di Titik Ini, Hidupnya Menjadi Narasi
Ketika seseorang bekerja dalam tugas intel, ia jarang memiliki biografi. Hidupnya lebih banyak menjadi fragmen kecil yang hanya diketahui lingkaran terbatas. Tetapi perjalanan Alfred justru layak dituliskan, bukan karena pangkat atau jabatan, melainkan karena ia adalah potret seorang manusia yang memilih jalan sunyi tetapi berdampak terang.
Ia tidak meminta untuk dikenang. Tetapi perjalanan hidup seperti ini, mau tidak mau, akan meninggalkan jejak pada generasi berikutnya.
Dan barangkali suatu hari nanti, ketika seseorang bertanya bagaimana menjaga tanah Papua dengan hati yang teguh, nama Alfred Papare akan disebut—bukan dalam riuh politik atau panggung publik, tetapi dalam cerita-cerita kecil tentang seorang lelaki yang setia pada tugas, pada tanahnya, dan pada panggilan batin yang lebih besar dari dirinya sendiri.
▌“Papua bukan sekadar wilayah tugas. Ini tanah yang mengajarkan saya arti pulang.”▐
Di kalimat itu, barangkali, seluruh hidupnya merapat dan menemukan makna.
Sebagian orang lahir untuk berjalan di jalan terang; sebagian lagi ditakdirkan menjaga cahaya dari balik bayang-bayang. “Tugas intel itu seperti angin,” ujar seorang perwira senior suatu ketika, “kau tidak melihatnya, tetapi kau merasakannya bekerja.” Kalimat itu seolah menemukan wujudnya dalam sosok Brigjen Pol Alfred Papare, putra Papua kelahiran 6 April 1974, cucu Pahlawan Nasional Silas Papare, yang sejak 11 November 2024 dipercaya memimpin Kepolisian Daerah Papua Tengah.
Ia datang dengan langkah tenang—seperti riak air yang menyimpan arus kuat di bawahnya. Lulusan Akpol 1995 ini menghabiskan puluhan tahun dalam sunyi intelijen; dari Tana Toraja, Pegunungan Bintang, Raja Ampat, hingga Jayapura. Setiap perpindahan bukan sekadar mutasi, tetapi serpih kisah tentang bagaimana sebuah nama ditempa oleh tugas dan kesetiaan.
Dalam banyak kesempatan, Alfred kerap menyingkap filosofi hidupnya tanpa sengaja.
▌“Saya hanya mencoba merawat amanah, sekecil apa pun ia terlihat.”▐
Kalimat sederhana, tetapi terasa berat bila diucapkan seseorang yang hidupnya lebih banyak dijalani di medan senyap, jauh dari sorotan publik.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan Umum
SD (1986)
SMP (1989)
SMA (1992)
Pendidikan Polri
Akpol (1995)
PTIK (2006)
Sespim (2010)
Sespimti (2019)
Pendidikan Kejuruan
Daspa Intel (1996)
Palan Intel (1997)
Pa Opsnal Intel (1999)
Riwayat Jabatan
Jejak kariernya tak pernah jauh dari medan yang keras—wilayah yang menuntut bukan hanya kecerdasan, tetapi ketahanan batin.
18-05-1995: Pama Polda Sulselra
18-05-1996: Kasat IPP Polres Tana Toraja Polda Sulselra
18-05-1997: Kasat IPP Polres Soppeng Polda Sulsel
05-08-2003: Pamen Polwiltabes Makassar Polda Sulsel
09-05-2006: Kabag Ops Polres Mimika Polda Papua
09-05-2006: Wakapolres Mimika Polda Papua
01-08-2007: Kapolres Pegunungan Bintang Polda Papua
16-02-2009: Kapolres Raja Ampat Polda Papua
08-10-2010: Pamen Polda Papua
18-10-2010: Kapolres Mappi Polda Papua
19-10-2011: Kapolres Jayapura Kota Polda Papua
29-01-2015: Wadirintelkam Polda Papua
21-02-2017: Kabidkum Polda Papua
25-08-2017: Kabidpropam Polda Metro Jaya
14-10-2018: Analis Kebijakan Madya bidang Provos Divpropam Polri
03-02-2020: Dirintelkam Polda Papua
01-09-2020: Irwasda Polda Papua
14-03-2023: Wakapolda Papua Barat
12-11-2024: Kapolda Papua Tengah
Ada perjalanan panjang yang tak terucap dari seorang perwira: malam-malam panjang, daerah rawan, masyarakat yang menaruh harap pada seragam, juga kesunyian yang tak semua orang tahan. Tetapi Alfred memilih jalan itu, dan tetap setia hingga kini.
▌“Papua itu rumah. Menjaganya bukan tugas—itu panggilan.”▐
Dan dari ruang kerjanya di Papua Tengah, panggilan itu terus menyala.
















