Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaHukum & KriminalPeristiwa

Lulus PPPK, Lalu Pergi: Antara Ibu yang Pergi, Suami yang Bertahan, dan Luka yang Tak Terucap”

56
×

Lulus PPPK, Lalu Pergi: Antara Ibu yang Pergi, Suami yang Bertahan, dan Luka yang Tak Terucap”

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Di Takari, seorang ibu pergi bukan karena ingin—melainkan karena merasa tak sanggup tinggal.

TAKARI |LINTASTIMOR.ID) — Baru setahun menyandang status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), EMSR—seorang guru di Kecamatan Takari—mendadak meninggalkan rumah, suami, dan lima anaknya sejak awal September 2025. Kepergiannya melahirkan tanda tanya, kegelisahan, sekaligus pertarungan narasi yang saling berhadapan. Di satu sisi, suami merasa dikhianati oleh ketidakpedulian seorang ibu; di sisi lain, sang istri mengaku pergi karena tak lagi sanggup hidup dalam pengkhianatan seorang suami.

Example 300x600

Hadadeser, suami EMSR, menuturkan peristiwa itu dengan getir. Ia kini memegang dua peran—bapak dan ibu sekaligus—di rumah yang sunyi, tempat lima anak mereka menunggu pulang seseorang yang tak kunjung datang.

“Istri saya baru lulus PPPK Kabupaten Kupang, tetapi tega meninggalkan lima anak kandung yang masih di bawah umur. Ini sangat memalukan citra ASN,” ujarnya, pelan namun tajam, seolah menahan luka yang tak ingin jatuh sebagai air mata.

Menurut Hadadeser, istrinya pergi sejak 2 September 2025. Sejak saat itu, kehadirannya hanya tersisa dalam catatan tunjangan dan nama absen sekolah.

“Sudah tiga bulan anak-anak ditinggalkan. Dia masuk kerja sesuka hati, sementara anak-anak ditelantarkan tapi tunjangannya tetap lancar,” ungkapnya.

Baginya, tindakan EMSR bukan sekadar persoalan rumah tangga, melainkan martabat publik seorang abdi negara.

“Saya bahkan berharap tunjangan suami dan anak dibatalkan saja karena anak-anak sudah ditelantarkan,” tegasnya—kali ini tanpa jeda, seolah menegaskan bahwa luka, bila tak lagi dapat dirawat, harus diakui sebagai kenyataan.

Klarifikasi Sang Istri: “Saya Pergi Karena Dikhianati”

Di sisi lain, EMSR—melalui pesan tertulis—merobek narasi tunggal sang suami. Ia tidak membantah bahwa ia pergi, tidak menyangkal bahwa ia tak lagi tinggal bersama anak-anak, namun ia menegaskan: ia pergi bukan tanpa sebab.

“Saya Ery Riwu menyatakan bahwa semua pemberitaan tentang saya tidak benar adanya,” tulisnya, membuka klarifikasi dengan nada yang menolak diposisikan sebagai pelaku tunggal.

Ia mengaku, kepergiannya adalah reaksi, bukan pelarian; keputusan, bukan kemewahan.

“Suami saya menjelek-jelekkan saya di media seolah dia benar, padahal dia menyembunyikan perbuatan jahatnya. Dia melakukan perselingkuhan dan mereka memiliki anak,” tutur EMSR, menumpahkan kalimat tanpa dramatisasi, namun dengan ketegasan yang matang.

Masih dalam klarifikasinya, ia menyebut keluarga suaminya turut mendukung hubungan tersebut sehingga ia memilih pulang ke keluarganya di Kupang. Bukan untuk merayakan kebebasan, melainkan untuk menyelamatkan kewarasan.

“Saya sudah tidak sanggup lagi hidup dengan suami yang berkhianat,” ujarnya.

Namun ada satu hal yang tetap ia pegang: tugasnya sebagai pendidik.

“Sampai hari ini pun saya tetap setia menjalankan tugas saya sebagai ASN P3K di SMPN 7 Takari Satap,” tulisnya, menutup klarifikasi tanpa amarah, hanya keputusan.

Di Antara yang Pergi dan yang Tinggal

Rumah tangga—bila pecah—tidak selalu mencari siapa salah, siapa benar. Ada luka yang tak sempat disembuhkan, ada suara yang tak sempat diperdengarkan, ada pilihan yang tak selalu dapat dihakimi publik.

Anak-anak tetap tumbuh dengan pertanyaan yang akan menua bersama waktu; suami melanjutkan hari sebagai ayah merangkap ibu; dan seorang guru di Takari tetap mengajar sambil menata ulang hidupnya sendiri.

Barangkali, di antara yang pergi dan yang ditinggalkan, ada ruang untuk damai. Tidak untuk hari ini, mungkin tidak untuk besok—tetapi untuk suatu masa ketika keduanya cukup kuat untuk saling memaafkan.

Dan Takari, jauh dari sorotan glamor, hanya menjadi saksi: bahwa setiap manusia, bahkan seorang abdi negara, tetap adalah makhluk rapuh yang sesekali tak sanggup tinggal di tempat yang menyakitinya.

“Saya pergi bukan karena tak cinta anak, tapi karena tak kuat lagi bertahan.”
— EMSR

“Saya bertahan bukan karena tak tersakiti, tapi karena ada lima anak yang menunggu.”
— Hadadeser

Dalam dua kalimat itulah, sesungguhnya seluruh drama rumah tangga ini menemukan wujudnya: bukan skandal, bukan aib, melainkan kemanusiaan.

 

Example 300250