Scroll untuk baca artikel
Dirgahayu Indonesia 80
Example 728x250
Gaya HidupHukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Lingkaran Kekerasan di TTS: Luka Kolektif yang Harus Diputus

149
×

Lingkaran Kekerasan di TTS: Luka Kolektif yang Harus Diputus

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

SOE, [LINTASTIMOR.ID] –
Di balik hamparan bukit kering dan tanah berbatu Timor Tengah Selatan (TTS), tersimpan luka yang tak kasat mata. Luka itu bukan hanya pada tubuh, melainkan juga pada jiwa perempuan dan anak-anak yang terenggut haknya. Dalam lima bulan pertama tahun 2025, tercatat 198 kasus kekerasan.

Sebanyak 84 korban adalah perempuan dewasa, sementara 114 lainnya anak-anak. Sebagian besar mengalami kekerasan seksual dan psikis.

Example 300x600

Angka itu hanyalah puncak gunung es; selebihnya tenggelam dalam diam—terbungkam oleh rasa takut, malu, atau ketergantungan pada pelaku.

“Setiap anak yang putus sekolah karena trauma kekerasan adalah masa depan yang hilang. Setiap perempuan yang dinikahkan dini adalah potensi yang terkubur. Dan setiap bayi yang lahir stunting adalah tanda bahwa luka akan terus diwariskan,” ujar penulis sekaligus aktivis sosial, Honing Alvianto Bana, dengan suara getir.

Masalah kekerasan ini menjelma lingkaran setan. Putus sekolah mendorong perkawinan dini; perkawinan dini melahirkan ibu yang rapuh, anak yang kekurangan gizi, dan keluarga yang terjerat kemiskinan. Dari sana, stunting menjelma wajah paling telanjang dari derita struktural: tubuh mungil, otak terhambat, masa depan tergadai. Dan di dalam pusaran itu, kekerasan baru terus lahir—menggores luka antar generasi.

Lebih dari sekadar problem hukum, ini adalah soal pembangunan. Sebab kemajuan tak mungkin diraih jika separuh masyarakatnya tumbuh dengan luka yang diwariskan.

Honing menegaskan, ada empat langkah mendesak yang harus dilakukan: memastikan anak-anak, terutama perempuan, tetap bersekolah; melibatkan tokoh adat dan agama untuk menghentikan perkawinan dini; membangun layanan perlindungan korban yang cepat dan aman; serta memperkuat program gizi keluarga miskin. Namun, lebih dari itu, dibutuhkan keberanian kultural untuk mengubah budaya diam menjadi budaya bicara, mengubah rasa malu menjadi keberanian, dan mengubah pembiaran menjadi perlindungan.

“TTS kaya akan budaya dan solidaritas. Tetapi semua potensi itu hanya akan bermakna bila perempuan dan anak-anak terbebas dari kekerasan. Memutus lingkaran ini bukan sekadar angka pembangunan, melainkan tentang martabat manusia,” tutup Honing, penuh keyakinan.


 

Example 300250