Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaHukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Lima Kali Tunda Tuntutan: Drama Sunyi di Ruang Sidang Jayapura

155
×

Lima Kali Tunda Tuntutan: Drama Sunyi di Ruang Sidang Jayapura

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

JAYAPURA |LINTASTIMOR.ID)-
Di ruang sidang yang terasa makin hening dari waktu ke waktu, agenda pembacaan tuntutan perkara korupsi venue Aerosport PON XX Papua kembali tertunda—untuk yang kelima kalinya.

Hukum: Ketika Waktu di Pengadilan Berjalan Terlalu Lambat

Example 300x600

Ada yang ganjil dalam perjalanan perkara dugaan korupsi pembangunan venue Aerosport PON XX Papua. Di Jayapura, di tengah gedung pengadilan yang berusia puluhan tahun, waktu seolah bergerak dengan langkah seret. Setiap kali majelis hakim mengetuk palu pembuka sidang, publik menunggu satu hal: pembacaan tuntutan. Namun yang datang justru pengumuman penundaan. Lima kali berturut-turut.

Kuasa hukum terdakwa Dominggus Robert Mayaut, Dr. Anton Raharusun, menatap rangkaian penundaan itu seperti memandangi jam dinding yang jarumnya sengaja ditahan.

“Penundaan seperti ini sudah lima kali. Ini jelas menunjukkan ketidakprofesionalan JPU dalam menangani kasus dugaan korupsi Aeromodeling,”
ujarnya, suaranya terukur tetapi sarat ketegasan.

Bagi Anton, ini bukan lagi sekadar kelalaian administrasi. Ini soal asas. Soal prinsip dasar peradilan pidana yang diatur undang-undang: cepat, sederhana, dan biaya ringan. Waktu yang berlarut adalah ketimpangan yang merugikan. Ia bukan hanya menyeret proses, tetapi juga menyeret hak-hak terdakwa yang menunggu kejelasan nasibnya.

Ketika Penundaan Menjadi Luka di Wajah Keadilan

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perkara korupsi sensitif terhadap persepsi publik. Begitu sidang berulang kali tertunda tanpa alasan yang transparan, kepercayaan publik mulai koyak. Inilah yang disorot Anton: keadilan tidak harus hanya dilakukan, tetapi juga terlihat dilakukan.

“Penundaan tanpa alasan objektif adalah pelanggaran serius terhadap asas peradilan. Hak terdakwa untuk diadili tanpa penundaan yang tidak wajar ikut dirugikan,”
tegasnya lagi.

Di panggung peradilan, jaksa adalah aktor sentral. Namun, ketika aktor utama tersendat langkahnya, drama hukum berjalan tanpa kejelasan akhir.

Kritik yang Menggema ke Ruang Kelembagaan

Dalam refleksi panjangnya, Anton menilai persoalan ini bukan hanya milik JPU Jayapura. Ia menyebut ada pola, ada budaya birokrasi yang tidak pernah tuntas dibenahi dalam tubuh Kejaksaan.

“Kinerja jaksa di daerah sangat semrawut. Getol menuntut orang, tetapi tidak bertanggung jawab secara profesional. Ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan, khususnya Kejati Papua,” katanya.

Ia bahkan membandingkan upaya reformasi Polri yang belakangan mencuat, dan menilai Kejaksaan seharusnya menempuh transformasi serupa.

Anton menyebut ada indikasi penundaan disengaja.
Menurutnya, JPU mengetahui rencana mutasi Ketua Majelis Hakim dan mencoba menyeret waktu hingga terjadi pergantian majelis.

“Saya khawatir ini akal-akalan. Jaksa tahu Ketua Hakim akan pindah, sehingga menunda-nunda agar terjadi pergantian majelis,”
ujarnya tanpa ragu.

Dakwaan di Bawah Sorotan Alat Bukti

Selain persoalan teknis, Anton juga menyoroti substansi perkara. Menurutnya, alat bukti yang dihadirkan JPU “minim dan rapuh,” sehingga tidak layak menjerat para terdakwa.

“Dengan bukti yang begitu lemah, saya meyakini para terdakwa pasti bebas demi hukum,”
tegasnya.

Di ruang sidang, kata-kata itu bukan sekadar pembelaan. Ia adalah pernyataan bahwa hukum acara harus berjalan dengan akal sehat, bukan sekadar formalitas menuntut seseorang.

Anton mengaku pernah mengkritik keras JPU pada persidangan sebelumnya. Baginya, profesionalisme bukan jargon; ia harus hadir nyata dalam setiap tahap peradilan.

Ketika Keadilan Menunggu

Di Jayapura, ruang sidang terus dipenuhi kursi-kursi plastik yang menunggu jawaban. Publik menunggu. Para terdakwa menunggu. Bahkan hakim pun menunggu. Tetapi waktu berputar terlalu lambat di tangan jaksa.

Dalam hukum, penundaan adalah sesuatu yang bisa dimaklumi — sekali, dua kali. Namun lima kali adalah peringatan keras bahwa ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dan dalam dunia peradilan, setiap menit yang terbuang bukan sekadar angka. Ia adalah kehidupan yang tergantung pada putusan. Ia adalah kredibilitas lembaga. Ia adalah wajah keadilan itu sendiri.

 

Example 300250