LABUAN BAJO, [LINTASTIMOR.ID] – Malam di Waterfront Marina itu seakan berdenyut. Ribuan manusia berpadu menjadi satu, mengalir seperti gelombang yang tak pernah lelah. Di tengah pusat keramaian, Menara Suar Golo Koe menjulang, putih berkilau, bagai mercusuar yang bukan hanya menuntun kapal, tetapi juga memanggil hati orang-orang untuk berkumpul merayakan kehidupan.
Di sepanjang tepi laut, cahaya lampu berpadu dengan kilau bintang, sementara deretan tenda festival memancarkan aroma kuliner laut yang memancing selera. Denting gamelan Manggarai menyapa dari satu sisi, disusul tabuhan drum modern dari panggung utama—sebuah simfoni lintas zaman yang menyatukan tradisi dan modernitas.
Ketika malam semakin dalam, sorak-sorai pecah saat Piche Kota, artis muda asal perbatasan Belu, melangkah ke panggung. Ia datang bukan sekadar menyanyi, tetapi membawa cerita perjalanan dari kafe kecil di Atambua hingga ke pentas megah di Labuan Bajo. Lagu “Pada Satu Cinta” yang ia bawakan—dengan suara yang hangat dan menyentuh—membuat penonton larut, sebagian ikut bernyanyi, sebagian lagi menutup mata, menikmati setiap nada seolah sedang dibawa pulang ke kampung halaman.
“Aku senang sekali bisa tampil di Labuan Bajo. Energi malam ini luar biasa. Rasanya seperti bernyanyi untuk seluruh Nusa Tenggara Timur,” kata Piche dengan senyum lebar, disambut teriakan penonton yang memanggil namanya.
Di sela musik, atraksi budaya tetap mengalir. Penari Caci mengayunkan cambuk dan perisai dengan gerakan yang penuh makna, sementara penjual kerajinan lokal tak berhenti melayani pembeli.
Anak-anak berlarian mengejar balon, para wisatawan sibuk memotret, dan para pedagang kuliner mengipas arang di bawah tenda.
Festival Golo Koe bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan panggung di mana Labuan Bajo menampilkan jiwanya. Di bawah cahaya Menara Suar, malam itu bukan hanya milik Labuan Bajo—ia menjadi milik semua yang datang, termasuk seorang anak muda dari perbatasan yang kini suaranya ikut mengisi langit malam.