Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaKabupaten MimikaNasionalPeristiwaPolkamTeknologi

Kursi Komisaris untuk Tanah Ulayat

111
×

Kursi Komisaris untuk Tanah Ulayat

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

TIMIKA |LINTASTIMOR ID)-Suara itu datang dari Timika—jernih, tegas, dan memikul sejarah yang panjang. Hari ini, Lembaga Adat Amungme dan Kamoro kembali mengingatkan negara dan perusahaan tambang terbesar di negeri ini: ada hak ulayat yang tidak boleh dipinggirkan.

Di sebuah ruang kecil yang dipenuhi aroma kopi pagi dan map-map dokumen MoU lama yang mulai menguning, Johnny Stingal Beanal, Direktur Eksekutif Lemasa, duduk berdampingan dengan Gregorius Okoware, Ketua Lemasko.

Example 300x600

Keduanya membawa satu pesan: saatnya kursi komisaris PT Freeport Indonesia diberikan kepada utusan Amungme dan Kamoro sebagai pemilik sah tanah yang telah digali selama setengah abad lebih.

Rabu (26/11/2025) mereka menyampaikan seruan resmi kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan PTFI. Seruan yang tak lagi bersuara lirih—namun menggema dari akar sejarah.

“Kami meminta agar disediakan kursi komisaris khusus untuk utusan Amungme dan Kamoro melalui Lemasa dan Lemasko,”
ujar Stingal dalam rilis resminya.
“Ini selaras dengan prinsip kesejajaran dan kemitraan dalam MoU tahun 2000.”

MoU itu ditandatangani generasi sebelumnya—oleh “Jim Bob” Moffett di pihak Freeport dan Thom Beanal dari Amungme—sebuah perjanjian yang dahulu dianggap tonggak rekonsiliasi ulayat. Namun, dua dekade berlalu, amanatnya belum sepenuhnya hidup.

Stingal dan Okoware tidak berbicara atas dorongan politik sesaat. Mereka berbicara sebagai pewaris wilayah adat yang pernah menjadi hutan senyap sebelum berubah menjadi salah satu tambang emas terbesar dunia.

Mereka mengingatkan negara bahwa Amungme dan Kamoro bukan hanya pemilik tanah, tetapi juga penjaga nilai. Mereka menyaksikan bagaimana bukit-bukit berubah, sungai-sungai dialihkan, dan kampung-kampung menyesuaikan diri dengan industri raksasa yang hadir.

“Kedua suku memiliki kapasitas dan keahlian yang memadai,”
tegas Stingal.
“Kami selalu mendukung operasi PTFI. Sudah saatnya suara kami hadir di dewan komisaris—agar kepentingan perusahaan dan masyarakat ulayat berjalan harmonis.”

Di tanah yang sering disebut “tanah yang menangis dalam diam”, keharmonisan bukan kemewahan—tetapi kebutuhan.

Permintaan Lemasa dan Lemasko bukan tentang jabatan. Ia jauh lebih dalam: tentang pengakuan, tentang hak untuk duduk di ruang tempat keputusan besar diambil, tentang kesempatan untuk menjaga agar kesejahteraan tidak berhenti hanya pada janji korporasi dan program seremonial.

“Ini bentuk pemberdayaan nyata bagi putra-putri Amungme dan Kamoro,”
kata Stingal, perlahan namun pasti.
“Sebelum memberikan amanah kepada pihak lain, kami berharap pemerintah dan PTFI mempertimbangkan kedua suku besar ini sesuai implementasi MoU 2000.”

Di Timika, kabar ini berputar cepat. Di lembah-lembah Amungme dan pesisir Kamoro, harapan itu menyala kembali. Dalam banyak cerita rakyat mereka, tanah bukan sekadar tempat berpijak—melainkan ibu yang harus dihormati. Maka ketika suara adat meminta ruang, itu bukan sekadar tuntutan, melainkan panggilan dari akar tempat sejarah Papua berdiri.

Kini bola ada di tangan negara dan perusahaan tambang. Apakah kursi kosong di ruang komisaris itu akhirnya akan diisi oleh pewaris sah tanah ulayat?

Waktu yang akan menjawab. Namun hari ini, suara adat itu telah kembali berdiri tegak. Dan ia tidak lagi sendiri.

Example 300250