PUNCAK |LINTASTIMOR.ID)-
Di Sinak, pagi tidak selalu datang bersama kabut. Kadang ia hadir sebagai keputusan—sunyi, berat, dan jujur. Di sebuah halaman yang disaksikan gunung dan doa, tujuh lelaki memilih berhenti bersembunyi dari diri mereka sendiri. Mereka meletakkan tanda lama, menggenggam tanda baru, dan untuk sesaat, waktu menahan napas. Papua, yang lelah oleh denting senjata, mendengar bunyi lain: ikrar.
Ada saat ketika sejarah tidak ditulis oleh ledakan, melainkan oleh keberanian untuk pulang. Tujuh nama itu—Tenius Tabuni, Wakola Tabuni (Donus), Abrius Murib (Apri), Sengky Murib (Kernis), Lolamayu Murib, Nomani Murib, dan Kakai Murib (Patoron)—datang bukan sebagai angka statistik, tetapi sebagai manusia yang menimbang masa depan. Mereka pernah berada di lorong gelap kekerasan; kini memilih cahaya yang lebih sulit: damai.
Prosesi ikrar di Distrik Sinak bukan sekadar seremonial. Ia adalah bahasa simbol yang berbicara pelan namun tegas. Bendera Bintang Kejora diserahkan—bukan sebagai penghinaan pada sejarah, melainkan sebagai penanda selesai sebuah bab. Sebuah senapan angin berpindah tangan; bukan kalah, tetapi paham. Dan ketika Sang Saka Merah Putih dicium, gestur itu menembus lebih dalam daripada pidato mana pun: pengakuan, penyesalan, dan harapan.
Di antara tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat yang menyaksikan, udara terasa berbeda. Tidak ada sorak berlebihan. Yang ada adalah kesunyian yang khidmat—kesunyian yang tahu betul betapa mahalnya damai di tanah yang lama dicoba oleh ketakutan. Di sini, rekonsiliasi tidak berteriak; ia berjalan perlahan, sambil menggenggam tangan.
Seorang di antara mereka berujar lirih, seolah berbicara pada anak-anak yang belum lahir:
“Kekerasan tidak pernah memberi kami rumah. Ia hanya memindahkan luka dari satu generasi ke generasi lain.”
Kalimat itu jatuh ke tanah Sinak dan tinggal lama, seperti benih yang menunggu hujan.
Komandan Satgas Yonif 142/Ksatria Jaya, Letkol Inf Dicky Sakti Maulana, menyebut momen ini sebagai buah dari kesabaran—operasi soft power yang menempatkan kemanusiaan di depan laras.
“Dialog dan empati membuka pintu yang tidak bisa didobrak oleh kekuatan,” katanya.
Kata-kata itu bukan slogan; ia terbukti dalam wajah-wajah yang kini tak lagi waspada, melainkan berharap.
Dari masyarakat, suara Tinus Talenggeng terdengar sebagai doa yang lama ditahan:
“Kami ingin hidup tanpa takut. Damai adalah prasyarat bagi kesejahteraan—bukan bonus setelahnya.”
Di Sinak, damai memang bukan hadiah; ia adalah kerja kolektif yang menuntut kesetiaan pada hidup.
Makan bersama menutup acara. Piring-piring sederhana, tawa yang masih canggung, dan percakapan yang mulai berani membicarakan esok. Inilah romantika yang jarang dibahas: romantika keberanian untuk berubah. Bukan romantika senjata, melainkan romantika pulang—ketika manusia memilih menjadi tetangga bagi masa depan.
Papua telah terlalu lama menjadi judul besar dengan isi luka. Hari ini, di Sinak, judul itu diperkecil agar isinya membesar: tujuh nama, satu keputusan, satu kemungkinan. Sejarah mungkin masih berat, tetapi ia bergerak—pelan, pasti—ke arah yang lebih manusiawi.
Dan ketika senjata menjadi sunyi, barulah kita mendengar hal terpenting: denyut kehidupan yang ingin diteruskan.
















