Investigatif tentang Kekuasaan, Dugaan Transaksi, dan Taruhan Integritas Penegakan Hukum
Elegi Kepercayaan
JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Di republik yang menggantungkan harapan pada hukum, setiap dugaan pelanggaran oleh penegaknya bukan sekadar perkara pidana—ia adalah luka kolektif. Luka yang perlahan menggerogoti kepercayaan publik, terutama di tanah Papua, tempat keadilan sering kali lebih dahulu dipertanyakan sebelum benar-benar ditegakkan.
Di tengah sunyi birokrasi dan hiruk-pikuk bantahan, Aliansi Pemuda Mahasiswa Malanesia (APMM) melangkah ke Jakarta. Bukan untuk mencari sensasi, kata mereka, melainkan untuk menyampaikan sebuah laporan yang, jika terbukti, berpotensi mengguncang fondasi integritas Kejaksaan Tinggi Papua.
APMM dan Laporan yang Menolak Dibungkam
Koordinator APMM, Doris Yenjau, dengan nada tegas namun terukur, menyatakan bahwa laporan mereka terhadap Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua, Nixon Nikolaus Mahuse, tidak berkaitan dengan perkara apa pun yang tengah ditangani Kejati Papua.
“Kami mendukung penuh pemberantasan korupsi di Papua. Tetapi dukungan itu justru menuntut aparat penegak hukum untuk benar-benar bersih,” ujar Doris dalam rilis pers di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Bagi APMM, narasi counter attack yang sempat disinggung pihak Aspidsus dinilai sebagai upaya mengalihkan fokus dari substansi laporan.
“Laporan kami murni dugaan pelanggaran hukum. Tidak ada motif balasan, tidak ada kepentingan perkara,” tegasnya.
Jejak Angka dan Rekening: Dugaan Transaksi Miliaran Rupiah
Dalam perspektif kriminologi keuangan, uang kerap menjadi bahasa paling jujur. APMM mengklaim memiliki data transaksi bernilai miliaran rupiah yang diduga berasal dari rekening pribadi Aspidsus Kejati Papua, yang menurut mereka menyeret sejumlah jaksa, pihak swasta, hingga oknum pejabat.
Rekening yang disebut antara lain:
- Bank Mandiri
- Bank BNI
- Bank BRI
- Bank BCA
“Datanya ada. Ini bukan fitnah. Kami bicara berdasarkan transaksi,” kata Doris, dengan keyakinan yang tak disamarkan.
Gratifikasi dan TPPU: Perspektif Kriminologi Struktural
APMM menyebut dugaan ini mengarah pada gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)—dua kejahatan yang dalam kajian kriminologi struktural sering tumbuh subur di lingkungan dengan asimetr i kekuasaan dan minim pengawasan internal.
“Indikasi transaksi mencurigakan ini, berdasarkan analisis yang kami terima, kuat mengarah ke TPPU dan gratifikasi. Dokumen telah kami serahkan ke KPK,” ujar Doris.
Mereka juga menyoroti dugaan penggunaan beberapa rekening bank berbeda sebagai pola klasik layering—tahap penyamaran dalam skema pencucian uang.
LHKPN dan Etika Kekuasaan
Dalam sudut pandang viktimologi, publik adalah korban tak langsung dari setiap ketidakjujuran pejabat. APMM menduga terdapat harta kekayaan yang tidak dilaporkan dalam LHKPN Aspidsus Kejati Papua.
“Ada aset yang tidak tercantum. Kami memiliki dokumentasi visual—foto dan video—yang patut diuji kebenarannya,” ungkap Doris.
Dokumen yang diklaim telah diserahkan ke KPK meliputi:
- Analisis transaksi keuangan
- Dokumentasi aset yang diduga tidak dilaporkan
- Dugaan kepemilikan properti dan barang mewah
Penegakan Hukum dan Luka Sosial Papua
Papua bukan sekadar wilayah administratif; ia adalah ruang sosial yang lama bergulat dengan ketidakpercayaan terhadap negara. Dalam konteks ini, dugaan keterlibatan pejabat penegak hukum dalam transaksi mencurigakan bukan hanya soal individu, melainkan ancaman sistemik terhadap legitimasi hukum.
Ketika hukum dipersepsikan selektif, masyarakatlah yang menjadi korban—keadilan berubah menjadi simbol, bukan realitas.
Bantahan dan Prinsip Praduga Tak Bersalah
Hingga naskah ini ditulis, Nixon Nikolaus Mahuse belum memberikan tanggapan langsung. Namun melalui pemberitaan media nasional, ia disebut telah membantah keras tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai informasi bohong atau hoaks.
Dalam etika jurnalistik dan hukum, praduga tak bersalah tetap menjadi prinsip utama. Kebenaran material atas dugaan ini sepenuhnya berada di tangan aparat penegak hukum yang berwenang.
Pencegahan dan Jalan Solusi
Kasus ini—terbukti atau tidak—menyodorkan satu pelajaran penting: pencegahan korupsi tidak cukup dengan penindakan, tetapi membutuhkan transparansi, audit independen, dan keberanian membuka ruang koreksi.
APMM telah melapor. Aspidsus telah membantah. Kini, publik menunggu satu hal yang lebih penting dari perdebatan: proses hukum yang terbuka, objektif, dan berani menyentuh siapa pun.
Karena di negeri hukum, keadilan bukan soal siapa yang kuat—melainkan siapa yang jujur.
















