JAKARTA |LKNTASTIMOR.ID)-Di antara lembar laporan yang menguning oleh waktu, seorang ibu di Oelunggu masih menunggu suara negara. Namanya Imelda Christina Bessie. Seorang aparatur sipil negara, seorang ibu, dan seorang istri yang hari-harinya kini diisi kecemasan—bukan karena ia takut hukum, melainkan karena hukum tak kunjung hadir.
Sejak 30 Agustus 2025, laporan dugaan penelantaran istri dan anak yang ia sampaikan ke Polda Nusa Tenggara Timur seolah berjalan tertatih. Nomor laporan telah tercatat rapi di atas kertas negara, namun kepastian hukum terasa menguap di udara birokrasi.
“Saya tidak sedang mencari sensasi. Saya hanya meminta kepastian dan keadilan untuk saya dan anak-anak,” tutur Imelda lirih, saat ditemui, dengan suara yang menahan letih panjang.
Laporan yang Tak Bergerak, Luka yang Terus Bertambah
Laporan polisi bernomor STTPL/B/190/VII/2025/SPKT/POLDA NTT, yang ditangani Unit SPKT/PPA, semestinya menjadi pintu awal perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Namun bagi Imelda, pintu itu terasa berat dibuka.
Berulang kali ia melakukan tindak lanjut—datang langsung, menghubungi penyidik, menunggu penjelasan. Yang ia terima bukan progres, melainkan kesunyian administratif.
Dalam sunyi itulah, dampak penelantaran terus membesar: tekanan ekonomi, luka psikologis, dan stigma sosial yang pelan-pelan menggerogoti martabat seorang ibu dan masa depan anak-anaknya.
“Setiap hari tanpa kepastian adalah hukuman baru bagi korban,” ujar seorang pemerhati hukum perempuan di Kupang, yang menilai kasus penelantaran tidak boleh diperlakukan sebagai perkara biasa.
Dugaan Maladministrasi dan Hak yang Terabaikan
Merasa haknya sebagai warga negara diabaikan, Imelda akhirnya mengadukan persoalan ini ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan NTT. Dalam laporannya, ia menduga adanya maladministrasi, mulai dari penundaan berlarut, kelalaian pelayanan hukum, hingga ketiadaan transparansi penanganan perkara.
Ia juga menyoroti ruang waktu yang justru memberi peluang bagi terlapor untuk menyusun pembelaan tanpa kejelasan posisi hukum.
“Negara tidak boleh lambat ketika yang dipertaruhkan adalah hak dasar perempuan dan anak,” tegas Imelda dalam pengaduannya.
Menunggu Negara Hadir, Bukan Sekadar Ada
Kasus ini bukan semata tentang satu laporan polisi. Ia adalah cermin tentang bagaimana hukum bekerja—atau gagal bekerja—di hadapan warga yang paling membutuhkan perlindungan.
Jurnalisme tidak boleh berhenti pada keluhan. Di sinilah jurnalisme solusi menemukan maknanya: mendorong pengawasan, membuka ruang evaluasi, dan memastikan lembaga negara kembali pada mandatnya.
Ombudsman RI kini diharapkan hadir bukan hanya sebagai penerima laporan, tetapi sebagai penjaga nurani pelayanan publik—mengawasi, menegur, dan merekomendasikan perbaikan yang tegas.
Karena keadilan, bagi seorang ibu dan anak-anaknya, bukan soal cepat atau lambat.
Ia soal hadir atau tidak hadirnya negara.
Catatan Redaksi
Berita ini disusun berdasarkan dokumen pengaduan resmi pelapor kepada Ombudsman RI Perwakilan NTT dan bertujuan mendorong perbaikan pelayanan publik serta perlindungan hak perempuan dan anak, tanpa menghakimi pihak mana pun.
















