Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Gaya HidupNasionalPeristiwaPolkam

Ketika Langit Atambua Membuka Pintu Sunyi bagi Seorang Kardinal

94
×

Ketika Langit Atambua Membuka Pintu Sunyi bagi Seorang Kardinal

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-Langit Atambua siang itu tidak sekadar biru. Ia seperti menahan napas. Angin di Bandara A. A. Bere Tallo berembus pelan, seolah tahu bahwa yang turun dari tangga pesawat bukan hanya seorang tamu, melainkan sebuah simbol: iman, persaudaraan, dan sejarah yang berjalan dengan langkah tenang.

Senin, 15 Desember 2025, menjadi hari ketika Rai Belu menyambut lebih dari sekadar kedatangan fisik. Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo tiba, dan bersama kehadirannya, hadir pula percakapan sunyi antara kekuasaan dan kerendahan hati, antara negara dan nurani.

Example 300x600

Di antara deru mesin pesawat yang baru saja dimatikan, Bupati Belu Willybrodus Lay, S.H berdiri berdampingan dengan Uskup Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku, Pr.

Tak jauh dari mereka, Bupati Timor Tengah Utara Yosep Falentinus Delasalle Kebo, S.IP., MA, Wakil Bupati Belu Vicente Hornai Gonsalves, ST, unsur Forkopimda, pimpinan OPD, serta Ketua TP PKK Kabupaten Belu, Viviawaty Lay Ng, menyatukan langkah dalam satu gestur sederhana: menjemput.

Penjemputan, dalam kebudayaan Timor, bukanlah sekadar seremoni. Ia adalah pernyataan batin: engkau diterima sebagai keluarga.

Kardinal Suharyo hadir tidak sendiri. Ia datang bersama Gubernur Nusa Tenggara Timur Emanuel Melkiades Laka Lena, S.Si., Apt., Wakil Gubernur Papua Aryoko Rumaropen, serta Direktur E Jampidum Kejaksaan Agung RI, Roberthus Melchisedek Tacoy, S.H., M.H. Sebuah iring-iringan yang mempertemukan iman, pemerintahan, dan hukum dalam satu bingkai kebangsaan yang hening namun penuh makna.

Tak ada pidato panjang. Tak ada sorak berlebihan. Hanya senyum-senyum yang berbicara, jabat tangan yang menyimpan doa, dan mata-mata yang sejenak saling membaca kedalaman.

“Dalam keheningan sering kali Tuhan bekerja paling keras,” demikian kalimat yang seolah menggantung di udara bandara itu, meski tak terucap oleh siapa pun.

Usai beristirahat sejenak di ruang tunggu, rombongan bergerak menuju Emaus Nenuk, Desa Naekasa, Kecamatan Tasifeto Barat. Nama Emaus sendiri bukan tanpa makna—ia adalah simbol perjalanan, tempat perjumpaan, dan ruang pembukaan mata. Sebuah perjalanan fisik yang sekaligus metafora rohani.

Mobil-mobil melaju membelah jalan, melewati ladang-ladang kering yang setia, rumah-rumah sederhana yang diam-diam menyimpan harapan, dan wajah-wajah rakyat yang mungkin tak tahu siapa yang lewat—namun tetap percaya bahwa setiap tamu membawa cerita.

Di Belu, iman tidak berdiri berhadap-hadapan dengan negara. Ia berjalan berdampingan. Seperti dua peziarah yang tahu, tujuan mereka sama: kemanusiaan.

Kedatangan Kardinal Suharyo hari itu bukanlah tentang protokoler, jabatan, atau kekuasaan. Ia adalah pengingat bahwa di ujung timur republik, masih ada tanah yang menyambut dengan ketulusan purba—tanpa sorotan berlebihan, tanpa panggung gemerlap.

Hanya langit, angin, dan hati yang terbuka.

Dan mungkin, itulah doa paling jujur yang pernah dipanjatkan Atambua: datanglah sebagai manusia, pulanglah sebagai harapan.

Example 300250