KUPANG |LINTASTIMOR.ID)-Pada Jumat pagi yang bening di Desa Naunu,Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sinar matahari turun seperti tirai tipis yang menimpa halaman Posyandu Lily.
Angin bergerak pelan, membawa aroma dedaunan yang tertimpa terang. Di kejauhan, deru mobil rombongan pelan-pelan memecah kesunyian desa, tetapi tidak mengusik kedamaian yang sejak tadi mengalir seperti alur sungai kecil di pinggir kampung.
Di depan Posyandu Lily, Aurum Obe Titu Eki, Wakil Bupati Kupang, berdiri dengan seutas senyum yang sulit disembunyikan. Ada sesuatu yang dalam dari cara ia menunggu—entah rasa hormat, entah rasa bangga, atau mungkin keduanya.
Ketika mobil itu akhirnya berhenti, pintu terbuka, dan sosok yang ditunggu muncul, suasana berubah lebih hangat.
Di hadapannya berdiri Mindriyati Astiningsih Laka Lena, Ketua TP PKK Provinsi NTT—seorang perempuan yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi wajah keteduhan organisasi pemberdayaan perempuan di provinsi yang tanahnya keras namun hatinya lunak itu.
Mereka bersalaman. Singkat, sopan, namun mengandung pesan tak terucap: perjalanan panjang pemberdayaan perempuan di daerah ini selalu dimulai dari sapaan sederhana.
Di Posyandu Lily, anak-anak berlarian kecil sementara ibu-ibu duduk rapi, beberapa dengan kain selimut di pangkuan, menunggu giliran timbang badan. Kader posyandu sibuk mempersiapkan alat, buku catatan, serta kantong kecil berisi makanan tambahan.
Di titik inilah perjalanan seorang pemimpin provinsi menemukan rumahnya: pada wajah-wajah yang sekali pun mungkin tidak mengerti struktur pemerintahan, tetapi merasakan betul dampaknya.
Mindriyati Laka Lena memperhatikan satu per satu sudut posyandu yang sederhana itu. Tak ada kemewahan—hanya ruang kecil, meja kayu, timbangan balita, dan papan data yang ditulis tangan. Tetapi justru dari tempat seperti inilah peradaban kecil bertunas.
“Kekuatan posyandu ada pada ketulusan kadernya. Selagi para kader bekerja dengan hati, kami di provinsi akan memastikan mereka tidak berjalan sendiri,” ujarnya, meresapi setiap kata, seakan mengikat janji di udara.
Aurum Obe Titu Eki yang mendampinginya mengangguk pelan. Ada sorot mata bangga ketika ia menyaksikan para kader—sebagian besar ibu rumah tangga—mengatur pelayanan dengan rapi.
Baginya, posyandu bukan sekadar lokasi administrasi kesehatan. Ia adalah ruang tempat para ibu menukar cerita, mengadukan kecemasan, dan membangun komunitas kecil yang menopang satu sama lain.
“Pemerintah Kabupaten Kupang berkomitmen memperkuat posyandu sebagai gerbang pertama kesehatan keluarga. Sinergi dengan PKK Provinsi akan menjadi motor untuk perubahan yang lebih merata,” kata Aurum dalam suara yang tenang namun mantap.
Di tengah kegiatan, seorang balita kecil tersenyum saat ditimbang—senyum polos yang menyingkirkan letih di wajah para kader. Mindriyati sempat menunduk, menyentuh pipinya dengan lembut. Dalam momen sesingkat itu, batas antara pejabat provinsi dan warga desa hilang. Yang tersisa hanyalah sesama manusia yang saling menyapa dalam ketulusan.
Kunjungan ini tidak hanya tentang laporan dan evaluasi. Tidak hanya tentang menuntas angka stunting, mengukur grafik gizi, atau memperbarui data posyandu. Kunjungan ini adalah perjalanan pulang: pulang kepada masyarakat yang menjadi alasan segala kebijakan dibuat.
Sastra sering mengajarkan bahwa perjalanan terpenting bukanlah menuju tempat jauh, tetapi kembali ke tempat-tempat kecil yang membentuk jati diri sebuah daerah. Dalam bingkai itulah, kunjungan Ketua TP PKK NTT dan Wakil Bupati Kupang mendapat maknanya. Kehadiran mereka adalah kesaksian bahwa provinsi dan kabupaten bukan dua ruang yang terpisah—melainkan dua tangan yang bekerja bersama menjaga generasi baru.
Ketika rombongan melangkah keluar dari Posyandu Lily, angin kembali bergerak pelan. Cahaya matahari menimpa daun-daun, persis seperti di awal kedatangan. Namun atmosfernya berbeda. Ada yang lebih penuh. Lebih hidup.
Mungkin karena harapan memang sering kali datang diam-diam, tanpa gembar-gembor, tanpa spanduk besar, tanpa pidato panjang. Kadang ia datang melalui satu salam, satu kunjungan, satu tatapan tulus antara dua perempuan pemanggul harapan yang percaya bahwa masa depan anak-anak NTT dimulai dari posyandu kecil seperti Lily—di sebuah desa bernama Naunu.
Dan dari Naunu, harapan itu terus berjalan.
















