Di ruang senyap yang jauh dari hiruk pikuk perbatasan, Belu dan Jakarta duduk satu meja—mengikat janji untuk menjaga manusia yang melangkah keluar demi masa depan.
JAKARTA, LINTASTIMOR.ID—Ada momen-momen tertentu ketika birokrasi berhenti menjadi sekadar deretan aturan. Jumat, 12 Desember 2025, di Ruang Kerja Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, suasana itu terasa: hangat, tenang, dan penuh kesadaran bahwa sebuah tanda tangan dapat menjadi penyangga hidup ribuan orang dari perbatasan Belu.
Pemerintah Kabupaten Belu dan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia resmi menandatangani Kesepakatan Bersama tentang Sinergi Tata Kelola Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI)—dokumen yang lahir bukan dari rutinitas, melainkan dari rangkaian keprihatinan dan harapan panjang masyarakat yang anak-anaknya mengadu nasib jauh dari kampung halaman.
Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan Wakil Menteri Perlindungan PMI ke Kabupaten Belu pada awal bulan, saat ia berdiri di hadapan masyarakat dalam acara sosialisasi peluang kerja luar negeri dan migrasi aman. Hari itu juga diresmikan Pusat Layanan Terpadu Satu Atap PMI Kabupaten Belu di Plaza Pelayanan Publik Atambua—tanda bahwa perbatasan ingin bekerja lebih rapi, lebih manusiawi, lebih terarah.
“Migrasi bukan sekadar perpindahan, melainkan perjalanan martabat. Dan negara wajib hadir di setiap langkahnya,” ujar Bupati Belu Wilybrodus Lay, S .H dalam suasana yang terasa lebih seperti renungan ketimbang seremoni.
Ruang lingkup kerja sama ini luas—seperti peta kehidupan para PMI sendiri. Mulai dari penyebarluasan informasi peluang kerja luar negeri, pelatihan calon PMI, pemeriksaan kesehatan, hingga penempatan dan perlindungan di negara tujuan. Tidak berhenti di sana, negara juga berjanji memperkuat layanan purna PMI, pertukaran data kelembagaan, dan koordinasi menyeluruh sesuai peraturan.
Dalam bahasa yang lebih puitis: negara ingin memastikan bahwa tidak ada orang Belu yang pulang dengan luka yang seharusnya bisa dicegah.
Bupati Belu dalam pertemuan itu berkata pelan, hampir seperti berdoa, “Anak-anak kami bukan angka. Mereka adalah cerita yang sedang berjuang menyambung hidup. Kita harus menjaganya.”
Dan mungkin di situlah nilai perjanjian ini. Bahwa jauh sebelum para PMI melangkah ke bandara, jauh sebelum mereka menjejak negeri orang, di ruang sunyi Jakarta ini, ada pemerintah yang mencoba menyulam perlindungan, sehalus dan seteguh yang mereka bisa.
Hari ini, Belu dan Jakarta tidak hanya menandatangani dokumen. Mereka menandatangani niat baik—dan semoga, sejarah baru perlindungan pekerja migran dari tanah perbatasan.
















