SUMUT |LINTASTIMOR.ID)-
Banjir bandang merenggut ratusan nyawa di Sumatera, namun status darurat nasional masih menggantung di udara.
Di tengah genangan, pertanyaan-pertanyaan penting justru tak kunjung menemukan jawabannya.
Gemuruh air yang membawa rumah, harapan, dan hingga kini lebih dari 174 nyawa itu seakan menggema jauh lebih keras daripada suara kebijakan.
Pemerintah masih memantau, masih mengikuti perkembangan, masih mengkaji langkah terbaik. Sementara di lapangan, waktu tidak pernah mau menunggu.
Dalam catatan kebencanaan, keputusan menetapkan sebuah musibah sebagai Bencana Nasional memang bukan perkara sepele. Ada indikator administratif, logistik, dan politis yang mengikatnya. Namun dalam nadi kemanusiaan, keputusan itu mestinya sesederhana memilih siapa yang ingin kita selamatkan lebih dulu.
Di tengah keprihatinan itu, muncul satu balok kutipan yang layak menggugah batin:
“Ketika kemanusiaan menjadi alasan tertinggi, maka anggaran bukan lagi batas—melainkan jembatan.”
Kita tahu negara memiliki ruang fiskal untuk kondisi luar biasa. Kita tahu ada dana fleksibel, ada MBG, ada pos-pos yang bisa diprioritaskan ulang. Kita juga melihat bagaimana bantuan bisa mengalir deras untuk persoalan di luar negeri. Maka pertanyaan itu, mau tak mau, kembali diulang:
Mengapa ketika musibah terjadi di rumah sendiri, langkah sering terasa begitu pelan?
Apakah Presiden masih menimbang beban politik? Apakah birokrasi masih terjebak dalam ceklis dan prosedur? Atau apakah negara sedang menunggu angka korban lebih besar agar keputusan terasa lebih “pantas”? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan bentuk perlawanan, melainkan rasa sayang seorang warga pada tanah airnya.
Saya bukan siapa-siapa—bukan ahli kebijakan, bukan pemegang mandat publik. Saya hanya seseorang yang berdiri jauh dari lokasi bencana, tetapi dekat dengan rasa pedihnya. Yang bisa saya lakukan hari ini hanyalah merangkai kepedulian menjadi doa.
Doa agar saudara-saudara kita di Sumatera diberi kekuatan.
Doa agar regu pencarian tetap diberi keselamatan.
Doa agar langit segera berhenti menumpahkan duka.
Dan doa paling penting:
“Semoga hati para pemegang keputusan tergerak lebih cepat daripada arus sungai yang memporakporandakan kampung-kampung kita.”
Karena pada akhirnya, dalam setiap bencana, yang kita butuhkan bukan hanya bantuan—melainkan kehadiran negara yang sigap, peka, dan menjadikan kemanusiaan sebagai perintah pertama.
OLEH: Agustinus Bobe,S.H, M.H peduli bencana
















