TIMIKA — LINTASTIMOR.ID
Di ujung November yang sibuk, Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika menyerukan kembali hal paling mendasar namun sering terlupakan dalam dunia pelayanan kesehatan: keselamatan pasien. Ajakan ini, yang disampaikan Kepala Dinkes Mimika Reynold Rizal Ubra pada Jumat (28/11/2025), bukan sekadar instruksi teknis—melainkan pesan moral yang mengikat seluruh faskes untuk kembali pada esensi kemanusiaan dalam layanan.
“Tidak boleh ada pasien yang ditolak hanya karena tidak mampu membayar,” ujarnya tegas—sebuah kalimat yang mengalir seperti garis batas etika yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun yang mengemban tugas merawat.
Pelayanan Tanpa Hambatan Biaya: Keadilan di Ruang Perawatan
Dinkes Mimika menegaskan bahwa keselamatan pasien harus berdiri di atas fondasi akses yang adil. Faskes swasta pun diminta tetap melayani meski pasien tidak ditanggung BPJS, karena biaya dapat diklaim ke Dinkes.
Kebijakan ini mengangkat kembali makna “layanan kesehatan sebagai hak” dan menyingkirkan ketakutan biaya yang kerap membuat warga enggan berobat. Di banyak tempat, penundaan perawatan adalah pintu menuju komplikasi; di Mimika, pintu itu ingin ditutup rapat-rapat.
Mengurai Kepadatan, Mengalirkan Akses
Agar pelayanan berjalan efisien dan selamat, masyarakat diimbau membawa KTP Mimika dan mendatangi faskes tingkat pertama seperti Pustu, Puskesmas, atau klinik. Langkah kecil ini memecah tumpukan pasien di rumah sakit dan mempercepat penanganan kasus non-gawat darurat.
Di balik imbauan sederhana itu tersimpan filosofi besar: kesehatan harus dimulai dari dekat—dari ruang yang akrab, dari tenaga medis yang mengenal warganya, dari pusat layanan yang tidak jauh dari rumah.
Desentralisasi 2026: Menyebarkan Cahaya Layanan ke Titik Terjauh
Tahun 2026 akan menjadi titik mula perubahan sistemik. Dinkes Mimika berencana memperkuat Pustu dan Posyandu sebagai ujung tombak pelayanan dasar.
Tidak semua keluhan harus sampai di Puskesmas; tidak semua gejala harus menempuh perjalanan panjang. Dengan memperkuat fasilitas terdekat, akses kesehatan menjadi lebih merata, beban faskes besar menurun, dan penanganan bisa lebih dini—sebuah upaya membangun sistem yang tangguh, bukan sekadar responsif.
Menjelang Nataru: Antisipasi Sebelum Gelombang Datang
Akhir tahun selalu membawa riak—ribuan warga pulang kampung, pendatang tiba, penyakit musiman meningkat. Dinkes Mimika membaca pola ini dengan cermat.
Evaluasi menyeluruh terhadap faskes dilakukan untuk memastikan kesiapan layanan, kelancaran sistem rujukan, hingga antisipasi lonjakan kasus. Tahun 2026 pun disiapkan dengan matang melalui perencanaan Bulan Imunisasi Campak dan Polio dari Januari hingga Maret.
Keselamatan pasien bukan hanya persoalan ruangan gawat darurat, tetapi juga soal kesiapan jangka panjang, pencegahan, dan kemampuan sistem menahan beban.
Keselamatan sebagai Keutamaan
Seruan Dinkes Mimika bukan sekadar peringatan teknis, tetapi sebuah etos. Dalam lanskap kesehatan yang terus berubah, keselamatan pasien adalah kompas yang harus dipegang erat: ia membimbing kebijakan, mengarahkan tindakan, dan menjaga kepercayaan masyarakat.
“Kami ingin pelayanan yang inklusif dan efektif,” demikian harapan yang disampaikan Reynold—sebuah harapan yang tidak hanya terdengar, tetapi terasa.
Di ujung tahun yang sibuk, Mimika menegaskan kembali bahwa kesehatan adalah hak, dan keselamatan adalah jantung dari hak itu.
















