FLOTIM | LINTASTIMOR.ID – Delapan bulan masa kepemimpinan Bupati Anton Dini dan Wakil Bupati Ignas Boli telah berjalan. Spirit “Lompatan Jauh” yang digadang sebagai narasi besar pemerintahan baru, kini terasa hanya berjalan di tempat. Fakta itu ditandai dengan macetnya mekanisme job fit dan seleksi terbuka jabatan tinggi pratama di lingkup Pemda Flotim, serta capaian realisasi pendapatan semester pertama APBD 2025 yang masih “minus”: hanya Rp29 miliar atau 41,18 persen dari target Rp71 miliar.
Di tengah harapan akan birokrasi yang lincah, inovatif, dan berdaya saing, publik justru disuguhi stagnasi.
“Sudah delapan bulan berjalan, kok masih begini-begini saja? Janji lompatan jauh malah terperangkap di ruang hampa,” ujar Amo Ama, pensiunan pejabat ASN Flotim, dengan nada getir.
Legal Standing: Job Fit sebagai Amanat Undang-Undang
Secara hukum, mekanisme job fit bukan pilihan, melainkan keharusan konstitusional bagi Bupati sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Rujukannya jelas:
- UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN,
- PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN,
- PermenPANRB Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi.
Ketiganya memberi ruang hukum bagi Bupati untuk memastikan penempatan pejabat sesuai kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, sehingga visi-misi daerah yang tertuang dalam RPJMD 2025–2029 dapat dijalankan.
Sayangnya, di Flores Timur, job fit justru “tersandra”. Publik menilai hal ini melemahkan sendi birokrasi.
Kritik dari Parlemen: Birokrasi Jadi Pincang
Ismail Gagal, anggota DPRD Flotim, dengan tegas menyoroti keterlambatan ini.
“Bupati jangan menganggap ini hal biasa. Banyak jabatan kosong membuat kerja birokrasi jadi pincang. APBD tinggal tiga bulan, sementara job fit tidak jalan. Apa ini bukan sinyal buruk?” tegasnya.
Ia bahkan mengungkapkan bahwa 12 OPD menunjukkan kinerja buruk, sebagian pejabat eselon II sudah terlalu lama duduk di kursi jabatan tanpa hasil yang memadai.
Hal senada diungkapkan pengamat publik Matias Pisang Sabon.
“Kalau Bupati ingin sukses, fokus dulu pada penataan birokrasi. Mutasi, promosi, dan seleksi terbuka harus segera dilakukan sebelum APBD 2026 diketok. Kalau Sekda tak bisa bekerja sama, ya diganti,” tandasnya lugas.
Realita Buruk: Anggaran Jor-joran, Pendapatan Lesu
Ironi nyata terlihat pada kinerja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Realisasi pendapatan daerah tahun 2025 hanya Rp26 juta, sementara anggaran belanja yang sudah digelontorkan lebih dari Rp2 miliar.
“Itu sangat memalukan. Uang APBD ke mana? Bupati harus minta BPK audit khusus,” seru Gagal menambahkan.
Solusi Hukum dan Jalan Keluar
Untuk mengakhiri kebuntuan birokrasi ini, para pakar hukum administrasi menilai ada tiga solusi mendesak:
- Segera laksanakan job fit terbuka sebagai amanat regulasi. Penundaan lebih lama hanya akan melemahkan legitimasi kepemimpinan.
- Audit kinerja OPD secara independen agar setiap pejabat terbuka rekam jejaknya; yang tidak memenuhi syarat kompetensi wajib diganti.
- Penataan ulang Sekretariat Daerah sebagai motor birokrasi. Jika Sekda tidak mampu, Bupati berhak dan wajib melakukan reposisi demi keberlangsungan pemerintahan.
Dengan langkah-langkah ini, janji “lompatan jauh” bisa kembali pada relnya, bukan sekadar slogan.
Menanti Keberanian
Kini, semua mata tertuju pada Bupati Anton Dini. Apakah ia berani memutus stagnasi birokrasi dengan langkah hukum yang sahih, atau terus larut dalam rutinitas seremoni yang tak memberi dampak nyata?
“Delapan bulan sudah lewat. Jika birokrasi tetap jalan di tempat, maka lompatan jauh hanya akan tercatat sebagai lompatan ilusi,” pungkas Amo Ama, penuh nada kecewa.
LINTASTIMOR.ID – Suara dari Perbatasan untuk Perdamaian Dunia