Rotasi Senyap yang Menentukan Arah Penegakan Hukum Timur Indonesia
JAKARTA|LINTASTIMOR.ID) —
Rotasi itu datang seperti pergantian musim: tidak gaduh, tetapi mengubah peta. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 1034 Tahun 2025 yang terbit 18 November 2025 memindahkan 12 jaksa strategis, menggeser komando dari Jakarta hingga ke wilayah-wilayah perbatasan.
Salah satu pergeseran paling menentukan ada di Tanah Papua. Hendrizal Husin resmi ditarik ke pusat sebagai Inspektur II pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Posisinya digantikan oleh seorang birokrat hukum yang dikenal tenang sekaligus tajam: Dr. Jefferdian, S.H., M.H.
“Mutasi adalah bagian dari penyegaran organisasi. Kita berharap kinerja meningkat, bukan sekadar berganti nama di kursi jabatan.”
— ST Burhanuddin, Jaksa Agung RI
Jefferdian sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pertimbangan Hukum pada JAM Datun Kejagung—posisi yang menuntut kejernihan analisis, ketegasan argumentasi, dan kedalaman perspektif. Kini ia membawa seluruh pengalaman itu ke Papua, wilayah yang tantangan hukumnya tak pernah sederhana.
Konstelasi Baru, Tanggung Jawab Baru
Mutasi ini juga menyentuh kursi Wakajati.
— Dwi Agus Arfianto, eks Kajari Jakarta Barat, ditugaskan menjadi Wakajati Sulawesi Tenggara.
— Saiful Bahri Siregar dipindahkan dari Sultra ke Jawa Timur sebagai Wakajati.
— Hari Wibowo, dari Wakajati Jawa Timur, kini naik menjadi Direktur A pada JAM Pidum.
Perubahan pada level koordinator hingga asisten pidana umum dan khusus di berbagai Kejati menunjukkan bahwa rotasi ini bukan sekadar “penyegaran”, tetapi penataan ulang arsitektur penegakan hukum nasional.
Membaca Arah Papua dalam Bayangan Jefferdian
Papua kini memasuki fase yang menuntut stabilitas hukum: sengketa tanah adat, perkara tipikor pembangunan, dan intensitas pengawasan anggaran daerah semakin tinggi. Jefferdian hadir pada momentum itu—membawa reputasi profesional yang jarang berisik namun dikenal presisi.
Rotasi ini memberi pesan: penegakan hukum di Papua tidak hanya butuh ketegasan, tetapi juga kecermatan membaca konteks sosial-budaya yang kompleks.
“Kita harapkan pejabat yang baru dapat segera beradaptasi dan memberi kontribusi maksimal.”
— ST Burhanuddin
Adaptasi, dalam konteks Papua, bukan sekadar mengenal medan. Ini tentang kemampuan memadukan hukum positif dengan pendekatan yang lebih manusiawi—sering kali lebih dialogis daripada represif.
Rotasi yang Lebih dari Sekadar Administrasi
Setiap pergantian pejabat di tubuh Kejaksaan membawa implikasi kebijakan.
Yang digeser bukan hanya nama, tetapi ritme kerja, strategi pemberantasan korupsi, hingga pola komunikasi dengan publik.
Di Papua, dinamika itu terasa lebih tebal.
Tipikor bernilai besar, pengawasan dana otonomi khusus, hingga perkara yang bersentuhan dengan hak masyarakat adat telah menjadikan wilayah ini sebagai salah satu barometer integritas institusi.
Dengan hadirnya Jefferdian, publik Papua menunggu: apakah babak baru ini akan membawa ketegasan yang lebih adil, atau kehati-hatian yang lebih bijak—atau mungkin keduanya sekaligus.
Pada akhirnya, sebuah rotasi tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari pertarungan panjang menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Dan di Tanah Papua, kepercayaan adalah modal paling mahal.
















