JAKARTA | LINTASTIMOR.ID —
Di seberang Taman Makam Pahlawan Kalibata—ruang sunyi tempat nama-nama pahlawan diabadikan—dua nyawa Miklon Edisafat Tanone kelahiran Oebeba dan Noverge Aryanto Tanu kelahiran Oemofa justru tumbang oleh kekerasan yang tak seharusnya terjadi.
Sore yang semestinya biasa itu berubah menjadi tragedi: dua debt collector itu tewas, dan enam anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia kini resmi menyandang status tersangka.
Polda Metro Jaya menetapkan enam anggota Polri dari Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri sebagai tersangka dalam kasus pengeroyokan yang menewaskan dua orang mata elang di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
“Adapun keenam dari tersangka tersebut anggota pelayanan markas di Mabes Polri,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat malam, 12 Desember 2025.
Keenam tersangka masing-masing berinisial JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AM. Mereka dijerat Pasal 170 ayat (3) KUHP, tentang tindak pidana pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia—pasal berat yang membuka jalan sanksi pidana sekaligus konsekuensi etik hingga pemecatan.
Peristiwa maut itu terjadi sekitar pukul 15.30 WIB. Berdasarkan keterangan saksi, kedua debt collector tengah menghentikan seorang pengendara sepeda motor di seberang TMP Kalibata. Dalam hitungan menit, sekelompok orang tiba-tiba muncul dan melakukan pengeroyokan.
Akibat kekerasan tersebut, satu korban tewas di tempat kejadian perkara, sementara satu korban lainnya meninggal dunia setelah sempat mendapat perawatan di rumah sakit.
Kasus ini tak sekadar menambah daftar panjang tindak kekerasan jalanan. Ia menjelma ironi yang menusuk nurani publik—ketika tangan yang seharusnya menjaga hukum justru tercatat sebagai pelaku pelanggaran hukum itu sendiri.
Di bawah bayang-bayang makam para pahlawan bangsa, tragedi Kalibata meninggalkan satu pertanyaan besar: ke mana arah moral kekuasaan jika kewenangan tak lagi diiringi kendali?
Proses hukum kini berjalan. Publik menunggu bukan hanya putusan pengadilan, tetapi juga ketegasan institusi dalam menegakkan keadilan atas nama martabat hukum dan kemanusiaan.
















