ROTE NDAO |LINTASTIMOR.ID) — Di balik setumpuk berkas resmi dan stempel dinas, tersimpan kisah pilu seorang perempuan yang memilih menegakkan haknya atas kebebasan dan kebahagiaan. Imelda Christina Bessie, S.Pd, guru Taman Kanak-kanak di Oeteas, Kabupaten Rote Ndao, akhirnya melayangkan surat permohonan izin cerai kepada Bupati Rote Ndao, Senin pekan lalu. Dalam surat bernomor 01/IB/2025 itu, ia menuliskan dengan tegas: “Penderitaan saya cukup.”
Surat itu sederhana — hanya selembar kertas dengan kop resmi dan cap basah dari lembaga negara. Namun di balik setiap baris kalimatnya, mengalir keberanian seorang perempuan yang telah lama berjuang dalam diam.
Imelda menulis dengan tangan yang bergetar namun mantap. Ia menegaskan bahwa rumah tangganya bersama Semy Lazarus Mandala, seorang pegawai pemerintah (PPPK) di Bagian Umum Kantor Bupati Rote Ndao, tidak lagi bisa dipertahankan. Ia menyampaikan permohonannya dengan bahasa yang jujur, tanpa dendam, hanya keinginan untuk merdeka dari luka.
“Saya hanya ingin hidup tenang.
Saya juga punya hak sebagai warga negara Indonesia untuk hidup, bebas, dan bahagia.
Penderitaan saya sudah cukup,”
ujar Imelda kepada LintasTimor.id dengan suara yang pelan namun tegas.
Imelda menikah pada 30 Juni 2016, dan dari pernikahan itu lahir tiga buah hati:
Garenvier Marthen Mandala (7 tahun), Ratu Amouresya Mandala (5 tahun), dan Raditya Dwinazir Mandala (3 tahun).
Ia menyebut bahwa seluruh biaya pernikahan kala itu ditanggung sendiri — bahkan, katanya dalam surat, “menggadaikan SK” demi melangkah ke jenjang rumah tangga. Kini, setelah sembilan tahun, langkah itu harus ia akhiri bukan karena lelah mencinta, tetapi karena tak lagi sanggup menanggung beban yang menggerus batinnya.
“Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi kalau rumah tangga hanya menjadi tempat luka, saya harus berani memilih hidup,”
tutur Imelda lirih, menatap kosong ke arah ruang kelas kecil tempat ia biasa mengajar anak-anak bernyanyi.
Dalam surat resminya, Imelda menyampaikan permohonan izin cerai kepada Bupati Rote Ndao, dengan tembusan ke Kementerian Dalam Negeri, BKN Pusat, Gubernur NTT, Sekda Provinsi, BKD Provinsi, BKPSDMD Kabupaten Rote Ndao, dan Sekda Rote Ndao.
Langkah administrasi itu bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghormatan pada aturan, sekaligus pembuktian bahwa perempuan pun berhak menentukan jalan hidupnya dengan martabat dan legalitas.
Kini, Imelda menanti keputusan Bupati. Harapannya sederhana — agar suratnya tidak berhenti di meja birokrasi, melainkan sampai pada hati seorang pemimpin yang memahami makna kebahagiaan warganya.
“Saya tidak minta belas kasihan.
Saya hanya mohon izin untuk hidup kembali,”
katanya pelan, menutup pembicaraan dengan mata yang basah namun berani.
Laporan Khusus: Tim LintasTimor.id – Rote Ndao
















